Bintuni, TABURAPOS.CO – Terjadi peningkatan kasus malaria di Tanah Merah Baru dan Saengga, Distrik Sumuri. Beberapa waktu lalu, sembilan kasus malaria baru ditemukan di dua daerah tersebut, dan bisa dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Perihal itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Teluk Bintuni, Franky D. Mobilala, SKM, M.Kes mengatakan, sejak lima tahun terakhir, atau saat masih menjadi sebagai kepala bidang P2P Dinkes Bintuni, sudah tidak ada kasus malaria.
Menurutnya, KLB yang terjadi pada 2023 di daerah itu, merupakan kali kedua setelah beberapa tahun lalu pertama kali terjadi di Merdey.
“Jadi di suatu daerah kalau ada 3 kasus sampai 5 kasus malaria maka daerah itu kita anggap KLB. Dimana menurut laporan para tenaga lapangan eliminasi malaria bahwa kasus pertama ada 8 kasus malaria ditemukan dari tidak ada kasus, makanya kita anggap ada KLB malaria di Tanah Merah, Distrik Sumuri,” ujar Mobilala saat ditemui media ini di ruang kerjanya, belum lama ini.
Lanjutnya, guna memastikan itu, tim melakukan survey selama tujuh hari di Tanah Merah Baru terhadap 1.510 orang, untuk memastikan ada peningkatan malaria atau tidak, dan ternyata ditemukan sembilan kasus malaria baru.
“5 kasus baru malaria di Tanah Merah dan 4 kasus baru malaria di Saengga jadi total kasus baru ada 9 kasus malaria,” sebut Mobilala.
Kepala Dinkes Bintuni itu juga menambahkan, menyikapi terjadinya kasus baru tersebut, pihaknya sudah menggelar rapat lintas sektor antara kepala-kepala kampung, tokoh agama, tokoh adat, bersama dengan pemerintah yang diwakili Kepala Distrik Sumuri.

Mobilala mengatakan, di Tanah Merah dan Tofoi masing-masing ada puskemas dalam 1 distrik. Tetapi kepala distriknya berkedudukan di Tofoi. Sehingga di Tanah Merah dan Saengga dilibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Seperti kepala-kepala kampung diundang bersama-sama menurunkan angka kasus malaria yang ada di Tanah Merah maupun Saengga.
“Dimana mereka melakukan rapat koordinasi sudah berjalan baik artinya penanganan malaria tidak mestinya orang Kesehatan. Sehingga kita libatkan juga tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat untuk kita sama-sama menurunkan angka kasus malaria di Tanah Merah dan Saengga supaya menjadi 0 dan jangan ada kasus lagi di Tanah Merah maupun Saengga,” papar Mobilala.
Franky Mobilala juga mengatakan bahwa untuk menurunkan kasus malaria atau mengeliminasi malaria perlu kerja keras. Dirinya baru saja mengikuti zoom metting dari Kementerian Kesehatan dengan Provinsi Papua Barat serta kabupaten Teluk Bintuni.
“Sebenarnya kita mau menuju ke eliminasi malaria saya katakan ke orang Kementrian bahwa Teluk Bintuni terlambat eliminasi malaria seharusnya kita duluan. Dan eliminasi malaria bukan Sorong Selatan. Dimana dalam zoom meting itu kita bertemu dengan pakar-pakar malaria di Indonesia yaitu dari Kementrian Kesehatan,” ujarnya.
Menurutnya, seharusnya Teluk Bintuni eliminasi malaria pada tahun 2020, tetapi sudah molor sampai tahun 2023. Sehingga pada zoom meting itu, merumuskan strategi-strategi bagaimana menurunkan angka malaria yaitu 1 per 1.000 penduduk kabupaten Teluk Bintuni.
Lanjutnya, setelah zoom meeting, yang dilakukan yakni akan lakukan rapat koordinasi dengan bidang bagaimana langkah-langkah selanjutnya untuk mengeliminasi malaria. Dimana sudah ada beberapa poin penting yang diturunkan Kemenkes RI untuk dijalankan.

“Supaya secepatnya mereka bisa bantu kami.Sehingga Teluk Biuntuni merupakan kabupatenn kedua di Tanah Papua yang eliminasi malaria. Itu yang diharapkan oleh Kementrian Kesehatan. Dimana terkait hal itu kami minta keterlibatan yaitu kita harus buat semacam peraturan Bupati yang melibatkan semua unsur dan bukan hanya dinas Kesehatan saja. Kalau dinas Kesehatan lebih pada teknisnya.
Tetapi paling tidak ada keterlibatan dari dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat serta kita juga melibatkan kepala-kepala kampung oleh karena itu harus ada peraturan Bupati yang mengatur kita menuju eliminasi malaria,” jelasnya.
Dirinya melihat peraturan Bupati sudah dibuat Kabag Hukum dan sudah ada sehingga payung hukum itu yang akan dipakai untuk bagaimana bisa mempersiapkan Teluk Bintuni menuju eliminasi yang nantinya akan mengikuti aturan-aturan dari WHO atau pun Kementrian Kesehatan.
Kepala Dinas Kesehatan itu juga menambahkan bahwa Kabupaten Teluk Bintuni diapit 8 kabupaten kota yaitu Fakfak, Kaimana, Sorong Selatan, Maybrat, Pengunungan Arfak, Teluk Wondama, Tambrauw dan Manokwari Selatan (Mansel).
“Sehingga malaria impor dari luar itu gampang masuk atau datang ke Bintuni itu mereka kita tidak cek atau screening dan mereka akhirnya menjadi sumber penularan bagi yang lain.
Maka untuk menuju eliminasi malaria di tahun 2023 seharusnya orang yang masuk ke Bintuni harus diperiksa.
Saya kasih contoh di perusahaan BP Tangguh itu sangat ketat sekali dimana setiap orang yang mau masuk ke LNG begitu turun dari speedboat langsung diperiksa di pos.
Kalau tidak ada malaria maka orang yang telah diperiksa tersebut dipersilahkan masuk LNG. Dan kita memiliki alat deteksi malaria yang cepat yaitu dalam waktu 10 sampai 15 menit kalau yang diperiksa ada gejala malaria langsung kita tahu.
Terkait pemeriksaan orang masuk ke Bintuni itu kalau lewat darat posnya kita buat di Botai dimana setiap orang yang masuk kita periksa kalau dia tidak ada malaria baru bisa masuk ke Bintuni.
Kasus lokal malaria kita sudah habiskan tetapi kalau kasus impornya datang itu juga tentunya menganggu kita.
Maka secara otomatis kita harus buat pos-pos di pintu masuk Bintuni untuk memeriksa orang yang masuk apa dia membawa parasit malaraia atau tidak. Karena parasit malaria yang ada dalam darah mausia itu yang harus kita hilangkan bukan nyamuknya,” pungkas Mobilala. [ABI-R4]