Manokwari, TP – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Manokwari, Ibrahim Khalil, SH dan Aminah M, SH menghadirkan Agustinus Isir dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua Barat, dalam sidang kasus penambangan emas ilegal di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Kamis (15/6) sore.
Menurut saksi, dirinya diminta pihak kepolisian ke lokasi penambangan emas ilegal untuk mengambil titik koordinat memakai GPS pada 2022.Selain mengambil titik koordinat yang ditunjuk polisi sebagai lokasi tambang emas ilegal, saksi juga mengambil dokumentasi foto dan pendataan.
“Kurang lebih ada lima titik dan dilakukan kurang lebih satu hari full di Kali Wariori, Kampung Waserawi,” kata Agustinus Isir di hadapan majelis hakim PN Manokwari yang diketuai, Akhmad, SH.

Ia menjelaskan, sebenarnya lokasi tersebut secara administrasi masuk ke Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf), tetapi sekarang masih masuk Distrik Masni.
Ditanya ketua majelis hakim, apakah kondisi bentang alam di lokasi sungai atau kali Wariori, Kampung Waserawi mengalami perubahan drastis? “Bentang alam sudah berubah,” jawab Agustinus Isir.
Saksi mengungkapkan, bentang alam yang berubah drastis terlihat dengan bekas tambang di sungai yang ditimbun bergunung-gunung, ada kubangan ukuran besar, dan sudah jelas ada penebangan pohon di sekitar lokasi.
Lanjut dia, dalam perjalanan menuju lokasi tambang emas ilegal yang ditunjuk polisi, saksi mengaku melihat banyak sekali excavator, tetapi yang di-police line hanya yang ada di lokasi penambangan.
Ditanya ketua majelis hakim tentang hasil pengolahan data setelah melakukan pengambilan titik koordinat, terang Agustinus Isir, lokasi itu berada di kawasan yang dilindungi pemerintah.
“Saya dengan polisi, jadi polisi yang menunjukkan lokasi titiknya. Ini lokasi grup si A, ini grupnya si B. Jadi ada grup-grup,” ungkap Agustinus Isir seraya menyebut beberapa kelompok/grup, diantaranya H. Rusli, Adit, Raymon, dan Agung tanpa memerincikan lebih jauh siapa mereka ini.
Saksi menegaskan, berdasarkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengeluarkan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) adalah PTSP, sedangkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sudah dikembalikan ke pusat.
“Belum ada yang urus, hanya menanyakan, dalam hal ini pemilik ulayat yang tinggal di SP VII,” katanya ketika disinggung perihal apakah sudah ada yang mau mengurus IPR atau tidak.
Ditambahkan Agustinus Isir, sebenarnya IPR bisa saja dikeluarkan, tetapi persoalannya, daerah itu belum ‘dilepas’ oleh pemerintah, karena menjadi kawasan yang dilarang, yakni kawasan konservasi dan hutan lindung.
“Kawasan konservasi tidak bisa dilakukan penambangan. Kalau hutan lindung bisa, tapi harus penambangan di bawah tanah, sedangkan IPR tidak bisa di bawah tanah,” tukas Agustinus Isir.
Saksi menegaskan, Dinas ESDM Provinsi Papua Barat tidak pernah mengeluarkan izin pertambangan emas di Waserawi, kecuali izin pertambangan emas di Kabupaten Teluk Wondama.
“Kalau penggalian di Waserawi itu sudah masuk operasi produksi, karena sudah memakai excavator. Selama ini juga tidak ada penarikan pajak dan retribusi, karena mereka tidak memiliki izin,” tandas Agustinus Isir seraya menjelaskan jika itu tambang rakyat, maka pendulangannya memakai wajan.
Dicecar penasehat hukum 25 terdakwa, Paulus K. Simonda, SH tentang apa kendala pemerintah tidak bisa menghentikan penambangan emas ilegal?
“Kami pemerintah tidak punya kewenangan menghentikan penambangan, tapi itu kewenangan pihak berwajib. Kami hanya bisa melakukan pembinaan,” ujar saksi menanggapi pertanyaan itu, seraya menyarankan saksi agar dinas di mana saksi bertugas bisa duduk bersama penegak hukum, pemilik hak ulayat, dan sebagainya untuk membahas persoalan tersebut.
Pada kesempatan itu, Simonda juga meminta majelis hakim untuk melakukan pemeriksaan setempat (PS) untuk melihat barang bukti, seperti excavator.
Menanggapi permintaan tersebut, ketua majelis hakim menyatakan barang bukti lengkap dan ada kesempatan serta waktunya untuk mengecek keberadaan barang bukti tersebut.

Penasehat Hukum Merasa Puas
Usai persidangan, Paulus Simonda menambahkan, selaku penasehat hukum ke-25 terdakwa ‘kaki abu’ yang didakwa melakukan penambangan emas secara ilegal merasa puas atas keterangan saksi.
Dikatakannya, dalam persidangan, ia berusaha mengejar saksi, apa kendala pemerintah dalam memberantas penambangan emas ilegal yang sampai sekarang terus berlangsung.
“Tapi jawabannya kan masih lari dari pertanyaan dan menjelaskan persoalan izin, tetapi ketika saya kejar terus, akhirnya saya puas,” ungkap Simonda kepada Tabura Pos usai persidangan, Kamis (15/6).
Menurutnya, apa yang menjadi kendala pemerintah untuk memberantas tambang emas ilegal sesungguhnya sudah diketahuinya, pasti terkait persoalan hak ulayat.
“Itu orang bodoh pun pasti tahu, tapi syukurlah, saksi dari Dinas Pertambangan sudah mengatakan bahwa bagaimana kami melarang, sedangkan itu hak ulayat, sehingga saya menyatakan ke saksi, berarti di satu sisi menegakkan normatif atau aturan, tapi di satu sisi, ada persoalan hak ulayat,” jelas Simonda.
Untuk itu, lanjut Simonda, ia menyarankan supaya pihak kepolisian, Dinas Pertambangan, Kehutanan, dan TNI bisa beraudiens dan duduk bersama membahas persoalan maraknya penambangan emas ilegal tersebut.
“Tapi intinya, saya puas hari ini. Kendalanya pemerintah adalah hak ulayat. Saya juga sudah tahu jawabannya,” pungkas Simonda.
Dari pantauan Tabura Pos, puluhan terdakwa yang tersangkut penambangan emas ilegal ini itu dikawal ketat aparat kepolisian bersenjata lengkap dan pegawai Kejari Manokwari dari ruang tahanan sementara sampai ke ruang sidang.
Para terdakwa, yaitu: MA, HM, Ka, Su, Ta, IN, DP, MuA, MRA, Ba, Da, AR, As, Asr, AT, BR alias Mansar, JM alias Jois, Ja alias Jafar, JVS alias Andi, RRA alias Enal, DVL alias Dev, VK alias Eli, JS alias Jenli, YS alias Andris, dan Tan, bisa melepas rompi warna orange ketika masuk ke ruang persidangan. [HEN-R1]