Arist Merdeka: JPU mengakui keterangan anak sebagai saksi dan ini baru pertama kali terjadi di lembaga peradilan di Indonesia
Sorong, PbP – Keluarga terdakwa kasus dugaan pembunuhan terhadap anggota Brimob Detasemen C Sorong, almarhum Brigpol Y.F. Siahaan melontarkan kekecewaannya lantara merasa tidak ada keadilan dari jaksa penuntut umum (JPU).
Kekecewaan itu dilontarkan setelah pihak keluarga dari kedua terdakwa, ARP dan AAP mendengarkan pembacaan tuntutan JPU. Dalam tuntutannya, JPU menuntut kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP, dengan tuntutan pidana penjara seumur hidup di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Selasa (27/6) siang.
Mereka banyak meneriakki JPU, Eko Nuryanto. “Saya tidak terima. Mana Pak Eko. Jangan dia bikin takaruang. Keadilan apa macam begini. Orang tidak bersalah dituntut penjara seumur hidup,” kata seorang perempuan yang belakangan diketahui merupakan keluarga dari terdakwa.
Mereka terlihat syok mendengar tuntutan pidana penjara seumur hidup, karena tuntutan tersebut tak pernah terbayangkan pihak keluarga.
JPU, Eko Nuryanto yang dikonfirmasi para wartawan di Kantor (Kejari) Sorong mengatakan, tuntutan itu dibacakan pihaknya sesuai petunjuk pimpinan.
“Kami sudah melaksanakan proses sesuai SOP. Semua hal telah dipertimbangkan sebagaimana fakta persidangan yang telah kita peroleh dalam beberapa bulan ini,” kata Eko Nuryanto.
Diungkapkannya, di dalam fakta persidangan, diperoleh keterangan dari saksi dan pendapat ahli, meski memang terdakwa tidak mengakui perbuatannya.
“Kita bisa membuktikan bahwa terdakwa terbukti melanggar dakwaan primer, Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP,” klaim Kasi Pidum Kejari Sorong ini.
Dijelaskannya, keterangan anak sebagai saksi dipakai JPU sebagai petunjuk, karena anak ini yang mengalami peristiwa tersebut secara langsung.

“Keterangan anak ini, pada saat diambil usianya 6 tahun. Dia sudah diperiksa, didampingi psikolog untuk memastikan bahwa keterangan anak ini, benar, tidak direkayasa atau diajari. Kita sudah pastikan itu dengan adanya ahli psikolog,” terang Eko Nuryanto.
Dikatakannya, sebagai penuntut umum mewakili negara, maka pihaknya tidak mengenali para terdakwa dan tidak punya kepentingan. “Kami hanya melaksanakan tugas dan hari ini kami bisa lakukan, salah satu tahapan, yakni pembacaan tuntutan,” ujar Eko Nuryanto.
Setelah pembacaan tuntutan ini, kata dia, terdakwa masih mempunyai hak jika merasa tidak bersalah untuk mengajukan pembelaan. “Silakan pilih ruang itu untuk dimanfaatkan,” tandas Eko Nuryanto.
Keterangan Anak Dipakai JPU
Sementara itu, untuk pertama kalinya terjadi dalam peradilan di Indonesia, kesaksian anak di bawah umur, dipakai JPU sebagai fakta-fakta dalam proses persidangan dalam kasus pembunuhan.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, kehadirannya dalam persidangan ini dalam rangka perlindungan anak, dimana anak di bawah umur, ada memberikan kesaksian atas perkara pembunuhan.
Diungkapkannya, dalam kasus pembunuhan anggota Brimob itu terjadi di Perumahan Bambu Kuning, Km. 10, Kota Sorong, dimana ada 2 terdakwa, yakni istri korban berinisial ARP dan iparnya, AAP.
“Tadi saya mendengar pembacaan tuntutan oleh JPU, dimana JPU menerima keterangan anak sebagai saksi,” kata Arist Merdeka usai mengikuti agenda pembacaan tuntutan JPU di PN Sorong, Selasa (27/6).
Diungkapkannya, sudah hal biasa jika anak sebagai korban dan pelaku, tetapi yang terjadi kali ini, baru pertama kali terjadi di lembaga peradilan di seluruh Indonesia, kesaksian anak atas perkara dugaan pembunuhan diterima JPU.
“Ini sangat luar biasa. Selain teliti dalam menyusun tuntutannya, JPU juga mengakui keterangan anak sebagai saksi dan ini baru pertama kali terjadi di lembaga peradilan di Indonesia,” ungkap Arist Merdeka.
Menurutnya, JPU yang menerima pendapat anak sebagai saksi, bisa menjadi yurisprudensi terhadap kasus-kasus yang sama di tempat lain, bahwa pendapat anak sebagai saksi bisa dipakai untuk membuat terang suatu perkara.
“Kasus pembunuhan ini terjadi tahun 2018. Meski polisi sudah menetapkan tersangka, tetapi belum bisa melakukan penahanan, karena polisi tidak memakai keterangan anak sebagai saksi. Akhirnya, kasus ini di-take over dan ditangani Polda Papua Barat,” jelas Arist Merdeka.
Lanjut dia, dalam pembacaan tuntutan, disampaikan bahwa keterangan anak sebagai saksi, melihat peristiwa pembunuhan tersebut secara konsisten. Lalu, kata dia, pendapat psikolog pun menyampaikan keterangan anak konsisten.
“Itulah yang menguatkan JPU untuk memakai keterangan anak sebagai saksi. Memang berbicara Undang-undang Perlindungan Anak, hak untuk mendengarkan keterangan anak sebagai saksi masih sangat jarang terjadi. Yang umum kita ketahui, anak sebagai korban atau pelaku. Itu biasa kita dengar dalam persidangan,” pungkas Arist Merdeka. [EYE-R1]