Manokwari, TP – Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Prafi mengadakan fokus grup diskusi (FGD) tentang Pengawasan terhadap Kelancaran Pendistribusian Pupuk Subsidi dan Penggunaan Alat Pertanian dari Pemerintah kepada Para Petani di Wilayah Warpramasi, Kabupaten Manokwari, Selasa (11/7).
Kegiatan ini menindaklanjuti keluhan dan kendala yang dialami para petani, sekaligus wadah untuk mencari solusi terhadap permasalahan agar tidak ada konflik di antara sesama petani.
FGD yang dihadiri para petani ini, dihadiri narasumber, yaitu: Kepala Bidang (Kabid) Ketahanan Pangan dan Holtikultura, Dinas Pertanian Kabupaten Manokwari, Andrew B. Pattikawa, Kabid Prasarana dan Sarana Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Manokwari, Ria S. Suabey, dan Kepala BPP Prafi, Jaka Mastuti.
Andrew Pattikawa mengakui, kebutuhan beras dari petani di Manokwari baru mencapai 37 persen, sedangkan sisanya harus didatangkan dari luar daerah dan ini menjadi kendala.
Diungkapkannya, setidaknya ada 8 masalah yang dihadapi selama ini, yakni alih fungsi lahan yang semakin tidak terkendali, tenaga kerja, benih bersertifikat, pupuk subsidi, prasarana irigasi yang tidak memadai, BBM subsidi, alat dan mesin pertanian (alsintan) hingga perencanaan dan anggaran pertanian.
“inilah delapan masalah utama yang perlu disampaikan dan Dinas Pertanian sudah berusaha,” kata Pattikawa.
Ia menjelaskan, alih fungsi lahan pertanian, karena lahan pertanian, sekarang menjadi perumahan dan kegiatan usaha, sehingga lahan produktif menjadi berkurang.
Untuk itu, ia berharap petani tetap menjaga produktivitas lahan pertanian, tetapi di sisi lain, harus ada insentif dari pemerintah terhadap petani yang mempertahankan produktivitas lahan pertaniannya.
Untuk regenerasi petani, kata dia, tidak berjalan, karena banyak anak petani yang malas menjadi petani, seperti orangtuanya. Sebab, hasil dari pertanian harus menunggu berbulan-bulan, sedangkan pekerjaan lain bisa menghasilkan lebih cepat.
Persoalan kemahalan pupuk dan ketersediaan benih padi bersertifikat. Perbedaan antara pupuk subsidi dan non subsidi cukup tinggi. Meski pupuk tersedia, ternyata jumlahnya tidak mencukupi, dimana kebutuhan dan alokasi yang diberikan pemerintah hanya 45 persen, sehingga sisa 55 persen terpaksa ditutupi pupuk non subsidi.
Ia mengaku, prasarana irigasi juga tidak memadai, dimana dulu ada pencetakan sawah besar-besaran, tetapi tidak disertai irigasi yang memadai, sehingga sawah itu kembali menjadi lahan tidur.

Sementara itu, ungkap dia, alsintan yang diberikan ke petani melalui poktan (kelompok tani) adalah bantuan Pemerintah Pusat. “Kita selalu menunggu dari pemerintah, mulai tanam sampai panen,” katanya.
Terkait perencanaan dan penganggaran bidang pertanian, lanjut Pattikawa, setiap kali musrenbang tingkat distrik, jarang sekali ada usulan anggaran untuk pertanian.
Oleh sebab itu, ia berharap, Dana Desa bisa dialokasi ke bidang pertanian. Sebab, kata dia, kalau hanya mengharapkan pemda, tentu jauh dari harapan. “Pekerjaan pertanian ini harus dikeroyok bersama-sama,” imbuh Pattikawa.
Menurut seorang petani, Iwan, pendistribusian pupuk subsidi tidak ada masalah, tetapi permasalahannya pada kebutuhan pupuk subsidi yang tidak sesuai kebutuhan petani.
Apalagi, tambah dia, perbedaan harga pupuk subsidi dan non subsidi cukup tinggi, bisa mencapai Rp. 800.000.
Di samping itu, ungkap Iwan, ada petani yang tidak ter-input dalam data penerima pupuk subsidi, sehingga poktan harus bijaksana dalam penyaluran pupuk. “Kalau dapat dua sak, kita bagi satu sak ke petani yang tidak dapat,” katanya.
Hal berbeda diutarakan petani dari SP 1, Sugiono. Ia membeberkan perihal keterlambatan distribusi pupuk subsidi ke pengecer dan kurangnya kuota pupuk jenis NPK. Dikatakannya, pada 2023, para petani di SP 1 terancam gagal panen, karena mereka kebanyakan memakai pupuk Urea dibandingkan NPK.
Selain pupuk, ia mengatakan soal kurangnya alsintan. Akibatnya, beberapa hektar lahan padi siap panen, terpaksa dibiarkan mengering karena ketiadaan alsintan. “Kalau kutik api, langsung menyala,” katanya sembari mengakui kekurangan teknis untuk memperbaiki alsintan yang rusak.
Menanggapi keluhan ini, Pattikawa meminta petani apabila menghadapi masalah penyaluran pupuk subsidi, segera dilaporkan agar segera ditindaklanjuti. “Kalau soal alsintan yang kurang, kita tunggu keajaiban dan kemurahan dari Pemerintah Pusat,” tuturnya.
Untuk persoalan gagal panen, jelas Pattikawa, ada instansi yang berwenang menilai apakah itu gagal panen atau tidak. “Mungkin panen saja yang berkurang, tapi bukan gagal panen,” ujar Pattikawa.
Petani lain juga mengeluhkan pemakaian pupuk Urea yang lebih banyak dibandingkan pupuk NPK, sehingga padi mereka terserang hama ulat bulu daun.
Radiman, petani dari SP 1, menambahkan, kekurangan kuota pupuk subsidi, karena pada 2018 lalu, ada hasil uji laboratorium oleh BPTP pada salah satu lahan petani. Hasil uji laboratorium itu menyebut lahan para petani subur dan berkadar humus tinggi.
Atas dasar itulah, lanjut dia, maka kebutuhan pupuk untuk petani dikurangi karena lahannya dianggap subur. “Jangan lahan subur yang diuji lab, kalau bisa lahan yang tandus, biar kebutuhan pupuk bisa disesuaikan,” ujar Radiman.
Terkait kebutuhan dan ketersediaan pupuk subsidi, Ria Suabey menjelaskan, pemerintah telah menyampaikan agar petani jangan sepenuhnya bergantung pada pupuk subsidi lagi, karena ke depan kemungkinan, bisa saja tidak ada pupuk subsidi lagi. Untuk itu, ia berharap pemakaian pupuk organik harus ditingkatkan.
Indra setiawan, petani lainnya menyoroti tentang distributor dan pengecer pun, dimana persyaratannya harus mempunyai gudang. Sebab, kata dia, yang terjadi selama ini, ketika petani ingin mengambil pupuk subsidi, harus melalui proses yang panjang.
“Kita ambil pupuk bukan ke pengecer, tapi kita ambil ke produsen, bukan kios atau pengecer. Dengar-dengar ada biaya distribusi dari produsen, tapi kita justru ambil sendiri ke produsen,” ungkap Setiawan.
Petani lain mengatakan, untuk meningkatkan pemakaian pupuk organik, maka pemerintah diharapkan bisa memfasilitasi kelompok tani dalam pembuatan rumah produksi pupuk organik.
Sedangkan kekurangan alsintan, petani mengatakan, itu terjadi karena ketua poktan mengambil alsintan di kota memakai biaya transportasi sendiri, maka dianggap alsintan tersebut untuk dirinya sendiri.
Menurut dia, sebenarnya program pemerintah sudah bagus, hanya saja membutuhkan pengawasan dari pihak terkait.
Sebelum penutupan kegiatan FGD ini, Pattikawa meminta petani untuk mengusulkan harga gabah ke pemerintah, meski sebenarnya Dinas Pertanian juga mempunyai hitungan. “Kita harap ada usulan dari petani,” tutup Pattikawa. [HEN-R1]