Sorong, PbP – Terdakwa, Ardila Rahayu Pongoh dan Andi Abdullah Pongoh dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana sebagaimana dakwaan primer jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Sorong, Pasal 340 KUHPidana jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHPidana.
Untuk itu, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sorong yang diketuai, Beauty D.E. Simatauw dan hakim anggota Bernardus Papendang dan Rivai Tukuboya, menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara terhadap Ardila Rahayu Pongoh dan 18 tahun pidana penjara terhadap Andi Abdullah Pongoh, Senin (17/7).
Berdasarkan fakta yang dihadirkan dalam persidangan, maka majelis hakim berpendapat, Ardila Rahayu Pongoh dan Andi Abdullah Pongoh bersama 3 orang yang tidak diketahui identitasnya, secara bersama melakukan perbuatan yang mengakibatkan korban, Yones F. Siahaan meninggal dunia pada 29 Agustus 2018 sekitar pukul 02.00 WIT.
“Hal ini dibuktikan dengan adanya kesesuaian antara keterangan anak saksi dan keterangan bukti surat (hasil autopsi) dan keterangan ahli, sehingga berdasarkan 3 alat bukti telah cukup memberikan petunjuk bagi majelis hakim, sehingga majelis hakim berpendapat korban meninggal akibat pembunuhan yang dilakukan oleh para terdakwa,” jelas ketua majelis hakim.
Dalam putusannya, majelis hakim mengesampingkan seluruh pembelaan yang diajukan penasehat hukum kedua terdakwa, karena semua dalil yang diajukan berdiri sendiri.
Kemudian, pembelaan terdakwa hanyalah bersifat cerita sendiri dari terdakwa tanpa ada saksi yang mendukung keterangan tersebut.
Usai majelis hakim membacakan putusannya, istri dari terdakwa, Andi Abdullah Pongoh dan keluarga yang ikut menghadiri persidangan, langsung mengajukan protes, melintasi batas pengunjung dan hendak ke arah meja majelis hakim.
Namun, upaya istri dari terdakwa dan keluarganya tidak membuahkan hasil, karena majelis hakim langsung meninggalkan ruang sidang dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan pegawai PN Sorong.
Istri terdakwa dan keluarganya merasa tidak puas dengan putusan majelis hakim dan mengatakan putusan itu tidak adil. Sedangkan anak dari terdakwa Andi Abdullah Pongoh menegaskan, ayahnya bukan pembunuh.
Andi Abdullah Pongoh tampak berusaha menenangkan istrinya sambil berkata ‘mereka ini siapa. Kalian tidak ada apanya di mata Tuhan’.
Sebelum masuk ke mobil tahanan, Andi Abdullah Pongoh mengaku akan melakukan sumpah Mubahalah untuk menyerahkan ketidakadilan yang dialaminya dalam perkara ini.
“Saya akan melakukan Mubahalah atas putusan majelis hakim ini. Kalau saya bersalah melakukan pembunuhan, saya akan mati saat itu juga. Kalian polisi dan semua yang hadir ini, kalian akan menjadi saksinya,” kata Andi Abdullah Pongoh sembari berteriak Allahuakbar.
Menanggapi putusan ini, Ketua Tim Penasehat Hukum, Romeon Habary mengatakan, keluarga terdakwa sangat emosi sampai histeris mendengar putusan majelis hakim.
Sebab, terdakwa Ardila divonis penjara selama 20 tahun dan terdakwa Andi Abdullah dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.
Dikatakan Habary, tim penasehat hukum juga tidak puas dengan putusan majelis hakim, karena pihaknya berkeyakinan dan berdasarkan fakta yang dihadirkan dalam persidangan, korban bukan meninggal akibat dibunuh, tetapi bunuh diri.
“Kami diberikan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir dalam menentukan sikap atas putusan majelis hakim. Kami akan berkoordinasi dengan klien kami, yakni terdakwa satu dan terdakwa dua,” katanya.
Ditanya tentang putusan majelis hakim, Habary mengaku belum bisa berkomentar lebih jauh. Selaku penasehat hukum, pihaknya sudah berusaha mengajukan pembelaan berdasarkan fakta-fakta selama persidangan.
“Kita bicara fakta persidangan. Pertama keterangan saksi anak itu berubah-ubah sejak tahun 2018, 2019, dan 2022,” kata Habary.
Lanjut dia, korban ini merupakan seorang anggota Brimob yang normal secara fisik, masa hanya pasrah begitu saja tanpa ada perlawanan ketika dibunuh. Tentu, kata dia, korban akan melawan ketika terancam.
“Saya atau teman-teman wartawan, masa sama sekali tidak tahu ada tiga orang yang masuk ke dalam rumahnya pada jam 1 malam. Lalu membiarkan tiga orang memegang tangan dan kaki tanpa ada perlawanan,” tandas Habary. [EYE-SF]