Sorong, PbP – Penyimpanan dan pendistribusian beras maupun gula pasir dalam kurun waktu 2016-2018 di Perum Bulog Sub Divre Sorong, ada temuan dugaan kerugian negara sebesar Rp. 1.910.565.024.
Temuan tersebut diperoleh setelah dilakukan audit khusus oleh Tim Satuan Pengawas Intern Regional X Makassar, kemudian ditindaklanjuti Kejari Sorong.
Untuk itu, Kajari Sorong, Muhammad Rizal merilis satu nama yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang dialami Perum Bulog sebesar Rp. 1,9 miliar, Jumat (21/7).
“Kami sudah melakukan beberapa kali ekspos dan menetapkan SR sebagai tersangka dugaan korupsi kegiatan penyimpanan dan pendistribusian beras dan gula pasir pada Perum Bulog Sub Divre Sorong,” jelas Kajari dalam konferensi pers di Kantor Kejari Sorong, Jumat (21/7).
Diutarakannya, pihak Kejari Sorong telah melakukan pemeriksaan terhadap 24 saksi dari internal Perum Bulog Sub Divre Cabang Sorong dan pelaku usaha yang bermitra dengan Perum Bulog Subdivre Cabang Sorong.
Lanjut dia, sebagai penguatan pembuktian dan perumusan perbuatan pidana, sudah dilakukan pemeriksaan ahli yang dilengkapi alat bukti surat yang sudah disita.
“Hasilnya, diketahui dalam pengelolaan persediaan beras dan gula pasir pada kegiatan penyimpanan dan pendistribusian beras dan gula pasir pada Perum Bulog Subdivre Cabang Sorong, terdapat selisih kurang fisik barang berdasarkan Laporan Hasil Audit Khusus Tim Tim SPI Regional X Makassar sebesar Rp. 1.910.565.024 dari rentan waktu 2016 sampai 2018 yang berimplikasi pada kerugian keuangan negara,” papar Kajari.
Kerugian negara, kata dia, disebabkan adanya kehilangan komoditi, yakni beras sebanyak 95.924 kg dan gula pasir sebanyak 87.250 kg.
“Untuk modus operandinya, tersangka melakukan dengan cara proses re-proses yang tidak dilakukan sesuai SOP serta pengeluaran barang komoditi tidak dicatatkan pada bagian gudang, sehingga berakibat berkurangnya barang komoditi di gudang penyimpanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” papar Rizal.
Ia mengungkapkan, SR disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Tersangka telah kami periksa dan lakukan penahanan selama 20 hari ke depan sebelum dilakukan pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum,” katanya.
Dia tidak menutup kemungkinan ada penambahan tersangka. Sebab, jelas Rizal, pihaknya akan melakukan pendalaman lebih lanjut dan sesuai fakta persidangan nanti, tidak tertutup kemungkinan kalau ada fakta lain. “Memang untuk sementara masih satu tersangka yang kami temukan,” tandas Kajari.
Sementara itu, mantan Kepala Gudang Bulog Sub Divre Sorong, SR disebut hanya korban dari ‘permainan licik’ di Perum Bulog.
Hal ini disampaikan penasehat hukum, SR, Syarif Nari, SH, usai proses penahanan kliennya oleh Kejari Sorong atas dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1.910.565.024.
“Memang berdasarkan keterangan klien kami, ada hal yang masih mengganjal dari penetapan tersangka kepada klien kami,” kata Syarif Nari di Kantor Kejari Sorong, Jumat (21/7).
Salah satu kejanggalan, sambung dia, yakni perintah untuk menjadi tim dari kegiatan penyimpanan dan distribusi beras maupun gula pasir dalam bentuk lisan, bukan tertulis.
Padahal, jelas dia, kapasitas SR adalah Kepala Gudang Bulog Sub Divre Sorong. “Kalau saya mengamati hasil pemeriksaan dan hasil kroscek. Memang kasus ini sangat ganjal. Ada beberapa hal yang sangat merugikan klien kami,” katanya.
Salah satunya, sebut Syarif Nari, masalah re-proses, dimana dari pimpinan Bulog di Jayapura memerintahkan secara lisan selaku Kepala Gudang, tetapi secara tim atas dasar surat perintah tertulisnya, nama beliau tidak masuk sebagai tim.
“Bila klien kami dianggap bertanggung jawab secara re-proses, maka yang harus bertanggung jawab bukan klien kami, justru seharusnya pihak yang diberikan tugas secara administratif,” katanya.
Maka, jelas dia, bila dianggap kliennya bersalah dan bertanggung jawab secara re-proses, seharusnya yang disangkakan bukan kliennya, tetapi siapa yang diberikan perintah secara tertulis.
Ditanya apakah kliennya hanya tumbal atau kambing hitam, kata Syarif Nari, itu sangat dimungkinkan karena seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak yang mendapat tugas secara administrasi.
“Klien kami hanya diberikan tugas berdasarkan perintah lisan, sedangkan yang diberikan perintah secara tertulis sama sekali tidak tersentuh,” tandas Syarif Nari.
Ditanya langkah hukum yang akan ditempuhnya, ia mengatakan akan mengikuti proses dan meminta penangguhan penahanan sambil menunggu proses persidangan.
“Kami akan beberkan semua nanti di pengadilan tentang duduk persoalan yang sebenarnya,” tandas Syarif Nari. [EYE-R1]