Manokwari, TABURAPOS.CO – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat melalui Badan Kesbangpol diminta agar menjelaskan mekanisme uji publik calon anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) periode 2023-2028 ke masyarakat.
Apa regulasi yang dipakai dalam tahapan uji publik ini, karena dalam Perdasi Nomor 8 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua Barat, tidak ada tahapan uji publik.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Provinsi Papua Barat, Musa Y. Sombuk menegaskan, tidak ada tahapan uji publik dalam Perdasi, tetapi dalam proses seleksi terbuka, ruang adanya partisipasi masyarakat dalam memberikan masukkan itulah yang dimaksudkan dengan uji publik tersebut.
“Saya mengapresiasi ketika dibentuk dua panitia, baik panitia pemilihan dan panitia pengawas. Di dalam mekanisme inilah tahap uji publik itu sudah ada, maka Ombudsman mempertanyakan, kerjanya pengawas itu apa,” kata Sombuk yang ditemui Tabura Pos di ruang kerjanya, Senin (25/7).
Sombuk mengutarakan, ketika dalam proses seleksi ada masukkan masyarakat berupa keluhan, sanggahan dan protes, maka panitia pengawas harus berproses dan mengecek dalam proses pengawasan, apakah benar atau tidak benar sesuai mekanisme.
Dicontohkannya, ada Dewan Adat yang memberikan rekomendasi terhadap keterwakilan perempuan, padahal tidak boleh, karena ada kelembagaan perempuan. “Nah, itulah yang terjadi saat ini. Jika ada uji publik, maka masukkan masyarakat ini dikasih kepada siapa? Gubernur bukan pihak yang ditugaskan peraturan daerah untuk melaksanakan seleksi. Gubernur hanya menerima dan meneruskan hasil seleksi kepada menteri,” papar Sombuk.
Sombuk menjelaskan, kalau pun Gubernur menerima pengaduan melalui Kesbangpol dan diteruskan lagi ke Mendagri, apa maksud dari mekanisme ini dan diatur di mana, permendagri atau regulasi apa?
“Ini yang menjadi pertanyaan dari sisi regulasi.
Kemudian, tahapan uji publik ini, prosesnya seperti apa? Misalnya, jika ada masukkan masyarakat dan dilakukan klarifikasi, siapa yang melakukan klarifikasi, Kesbangpol, panwas atau panpel? Proses ini gelap juga, mereka hanya mengatakan ada sekian pengaduan, lalu apa prosesnya,” tanya Sombuk.
Untuk itu, ia berharap ada keterbukaan dari Pemprov Papua Barat, siapa pihak yang melakukan klarifikasi dari uji publik ini, dibentuk tim dan mekanisme pengujiannya, lalu bagaimana hasilnya dan untuk dipublikasikan lagi.
“Batas waktu uji publik sebelumnya selama tujuh hari kerja, tapi sampai hari ini, hasilnya belum kita dengar. Jadi, apa yang dikritisi praktisi hukum dan kami lihat mekanisme ini, perlu diberikan penjelasan kepada publik. Kalau tidak, akan kita anggap tindakan yang tidak sesuai proses dan dinyatakan maladministrasi,” ujar Sombuk.
Diakuinya, dari sisi lain, MRPB harus segera terbentuk untuk mengisi jabatan yang kosong dan sudah memasukki tahun politik serta adanya riak-riak di masyarakat terkait orang asli Papua, tetapi lembaga kulturnya belum ada.
Ditanya putusan akhir dari nama-nama calon anggota MRPB hasil uji publik berada di gubernur, Sombuk menerangkan, hal ini perlu dicek lagi ke peraturan, apakah benar gubernur mempunyai kewenangan untuk memutuskan si A, B, dan C.
“Kalau diatur dalam perdasi, silahkan tapi kalau tidak, ya gubernur sendiri mengeluh bahwa saya hanya tukang kirim saja,” katanya.
Disinggung solusi ke depan, ia menjelaskan, ini perlu dikembalikan ke panpel dan panwas atau dibuatkan regulasi baru yang memberi kewenangan, misalnya Badan Kesbangpol dan gubernur untuk melakukan klarifikasi terhadap uji publik itu.
“Ini adalah lembaga kultur orang Papua, maka orang Papua harus tahu apa yang terjadi. Memang Jakarta yang menetapkan, tapi semuanya berproses di sini dan kita semua tahu ada masalah. Sekarang kalau ditetapkan dan dibawa ke Jakarta, pasti ada yang gugat,” pungkas Sombuk. [FSM-R1]