Manokwari, TABURAPOS.CO – Salah satu tersangka yang sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dalam peristiwa berdarah di Distrik Kramongmongga, Kabupaten Fakfak berinisial AK (64 tahun), bukan pentolan, apalagi disebut aktor intelektual.
“Beliau ini bukan salah satu pentolan atau aktor intelektual dalam kejadian di Distrik Kramongmongga. Itu berdasarkan data yang kita punya ya,” tandas kuasa hukum AK, Yan C. Warinussy, SH yang dikonfirmasi Tabura Pos di kediamannya, Jumat (6/10).
Menurut Warinussy, AK hanya mengikuti rapat yang diadakan pada 12 Agustus 2023 dan tidak mengikuti rapat pada 13, 14, dan 15 Agustus 2023 atau di saat pelaksanaan eksekusi.
“AK ini hanya ikut rapat pada tanggal 12 Agustus 2023. Waktu mereka melakukan penyerangan, AK ini ada di kebunnya, di hutan, bukan di TKP,” jelas Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari ini.
Diungkapkan Warinussy, AK pun mengikuti rapat pada 12 Agustus 2023, lantaran diajak anak mantunya yang mengatakan ‘nanti bapak datang ke markas untuk kita minum kopi di sana’. Atas ajakan itulah, sambung dia, AK datang untuk meminum kopi di tempat yang disebut markas.
Di situlah, kata dia, memang ada pembicaraan perihal penyerangan pada 15 Agustus. “Jadi, dia ini hanya kebetulan ada di situ. Dia juga bukan anggota TPN atau KNPB,” tegas Warinussy.
Ditanya tentang motif penyerangan dan peristiwa berdarah tersebut, Warinussy mengaku, pihaknya masih melakukan pendalaman, karena informasinya masih simpang siur.
Namun, lanjut dia, beredar juga informasi bahwa ada semacam perintah dari ‘komando’ untuk menyasar fasilitas-fasilitas umum di sekitar markas tersebut.
“Yang di sasar itu kantor-kantor pelayanan publik, seperti kantor pemerintahan dan sekolah. Sesuai keterangan dari AK, dalam pembicaraan itu, tidak ada pembicaraan untuk menyerang seseorang atau melakukan penganiayaan yang menyebabkan Kepala Distrik, Darson Hegemur, meninggal dunia,” paparnya.
Di samping itu, Warinussy menambahkan, AK juga tak mengetahui siapa saja yang melakukan penyerangan atau penganiayaan terhadap Kepala Distrik, karena AK ini tidak di tempat kejadian perkara (TKP).
“Dia ada di kebunnya, jaraknya cukup jauh dari lokasi. Selebihnya, dia tidak tahu,” tandas Warinussy.
Dia pun membenarkan informasi ada sejumlah DPO yang akan menyerahkan diri atas mediasi dari pihak Gereja Katolik, dalam hal ini, Pastor Alex Fabian dan Dewan Adat Mbaham Matta, Fredy Warpopor.
“Tapi sampai hari ini, kami belum mendapat informasi dari Pastor dan Dewan Adat Mbaham Matta,” katanya.
Untuk proses penyerahan AK ke Polres Fakfak, jelas dia, sebelum penyerahan, ia dan advokat, Thresje Y. Gasperzs, SH telah bertemu AK dan keluarganya, sekaligus memberikan pemahaman terkait proses hukum yang akan dijalaninya.
Dalam pertemuan tersebut, pihaknya menyarankan AK untuk menyerahkan diri ke pihak kepolisian, sehingga pada Jumat (29/9/2023), AK menyerahkan diri ke Polres Fakfak didampingi kuasa hukum, tokoh agama, dan kontak person Elsam di Fakfak.
Dijelaskannya, penyerahan diri AK, karena sebelumnya ada komunikasi yang dibangun sebelum tim dari LP3BH Manokwari tiba di Fakfak. Komunikasi tersebut dibangun tokoh agama dari Gereja Katolik, kontak person Elsam, dan Wakapolda Papua Barat, Brigjen Pol. Petrus Patrige R. Renwarin.
Lanjut dia, dari situlah, muncul kesepahaman bahwa pihak Gereja Katolik dan Dewan Adat Mbaham Matta akan mengajak mereka yang masuk dalam DPO untuk menyerahkan diri.
“Kalau mereka tidak menyerahkan diri, akan ada operasi-operasi susulan yang dilakukan pihak keamanan dan bisa berdampak terhadap masyarakat lain yang sesungguhnya tidak terlibat dalam peristiwa 15 Agustus,” ungkapnya.
Dengan demikian, terang Warinussy, AK yang masuk dalam DPO pun bersedia ketika diajak untuk menyerahkan diri. Apalagi, ada anak laki-lakinya, FK dan anak mantunya yang juga ditahan dalam peristiwa tersebut.
“Mereka berdua ini (anak dan anak mantu dari AK) ada di antara 7 orang yang sudah ditahan dan ditetapkan menjadi tersangka,” pungkas Warinussy. [HEN-R1]