Manokwari, TABURAPOS.CO – Hingga Jumat (13/10/2023), Pengadilan Negeri (PN) Manokwari belum menerima permohonan penyitaan atau penggeledahan terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang terjadi di PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arfindo.
Humas PN Manokwari, Dr. Markham Faried, SH, MH mengatakan, terkait dugaan TPPU di BPR Arfindo, belum terdaftar di register permohonan e-Berpadu hingga Jumat (13/10).
“Apabila ini masuk dalam ranah bagian dari tindak pidana umum, bukan tindak pidana korupsi ya, maka berdasarkan register permohonan di e-Berpadu, belum terdaftar,” ungkap Markham Faried yang dikonfirmasi Tabura Pos di PN Manokwari, Jumat (13/10) sore.
Ditegaskannya, apabila dugaan TPPU ini masuk dalam dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), maka dirinya belum bisa memastikannya.
“Itu belum diketahui, maka harus dilihat lagi dalam register perkara permohonan penyitaan atau persetujuan penggeledahannya,” jelas Humas PN.
Berdasarkan catatan Tabura Pos, skandal dugaan kejahatan perbankan dengan kerugian yang diperkirakan mencapai Rp. 345,8 miliar lebih diduga terjadi di PT BPR Arfindo. Kerugian yang ditaksir mencapai ratusan miliar Rupiah itu, berdasarkan hasil audit tim internal BPR Arfindo, terhitung sejak 2012-2022.
Kejahatan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif tersebut, diduga dilakukan orang dalam, diantaranya dewan direksi, komisaris, kepala cabang, staf, dan pihak luar, yang dilaporkan pihak BPR Arfindo ke Polda Papua Barat pada 19 Juni 2023.
Wadireskrimum Polda Papua Barat, AKBP Robertus A. Pandiangan mengatakan, berdasarkan laporan polisi (LP) dari pihak PT BPR Arfindo, mereka ingin mencari permasalahan yang terjadi tentang kerugian sebesar Rp. 345,8 miliar lebih, setelah dilakukan audit internal.
Dikatakannya, berdasarkan laporan tersebut, penyidik melakukan proses penyelidikan dengan memeriksa para pihak di PT BPR Arfindo, mulai dewan direksi, kepala cabang, staf, supervisor, dan sebagainya.
Menurut Pandiangan, dari hasil pemeriksaan ini, ternyata terjadi dugaan penggelapan dalam jabatan sesuai Pasal 374 KUHPidana, karena pelaku masuk dalam pengurus dewan direksi.
Penyidik juga menemukan adanya penggelapan dalam jabatan oleh pihak dewan direksi, dimana sesuai kewenangannya, memberikan kesempatan kerja sama dengan kepala cabang, lalu ada pihak luar, untuk memberikan kredit tidak sesuai ketentuan di PT BPR Arfindo.
Dari sekitar 30 saksi yang diperiksa dan alat bukti yang dikumpulkan, penyidik menemukan adanya perbuatan melawan hukum dan sudah menetapkan 12 tersangka pada 16 Agustus 2023.
“Terdiri dari dewan direksi, kepala cabang, serta pengurus yang ada di BPR Arfindo dan dua tersangka dari pihak luar,” rinci Wadireskrimum kepada para wartawan di Polda Papua Barat, Senin (2/10/2023).
Diungkapkan Pandiangan, para tersangka ini terdiri dari PML sebagai Direktur Utama, JI sebagai Direktur Operasional, NAT sebagai Komisaris saat itu dan sekarang sebagai Direksi, AK sebagai eks Kepala Cabang Sorong Kota, dan SRA selaku supervisor.
Kemudian, FL sebagai supervisor di PT BPR Arfindo Kantor Cabang Sorong, IP sebagai staf di PT BPR Arfindo, L sebagai supervsisor di PT BPR Arfindo Kantor Cabang Sorong, SS yang saat itu menjadi pimpinan PT BPR Arfindo Cabang Fakfak, HSR Direktur di PT PSMS, SDA sebagai Direktur PT JMP, dan LW sebagai Direktur CV RF.
Meski sudah menetapkan para tersangka, kata Wadireskrimum, para tersangka ini belum ditahan dengan alasan sedang dilakukan penelusuran aset terkait dugaan TPPU.
Modus operandi dalam kasus ini, jelas Wadireskrimum, pihak luar menjalin kerja sama dengan orang dalam atau direksi, dalam hal ini Direktur Utama dan Direktur Operasional beserta para kepala cabang untuk mengajukan permohonan kredit (PK).
Ia mengutarakan, pengajuan PK tidak sesuai SOP atau tidak ada agunan yang diikat. Lalu, dalam PK tersebut, terdapat agunan yang sama antara satu PK dan PK lain, dimana semua atas sepengetahuan, persetujuan, dan perintah dewan direksi, yaitu: PML dan JI.
Dikatakan Pandiangan, perbuatan para tersangka ini menyebabkan PT BPR Arfindo mengalami likuiditas, tidak mampu sebagai bank untuk menjalankan kewajibannya terhadap nasabah.
“Kejahatan perbankan yang dilakukan oleh dewan direksi dengan modus kewenangan dan jabatannya, memperlancar permohonan kredit, yang mana permohonan kredit itu tidak sesuai SOP dan melanggar aturan Undang-undang Perbankan,” paparnya.
Dirinya menegaskan, kasus ini tidak masuk dalam perkara korupsi, karena PT BPR Arfindo adalah pihak swasta, bukan milik negara, dan kalau ini bank negara, pasti tindak pidana korupsi.
Disinggung tentang status pelapor dalam kasus ini, ungkapnya, saat ini pelapor juga sudah ditetapkan sebagai tersangka, karena dari hasil penelusuran, ada aliran dana terhadap pelapor.
“Memang benar yang melapor saat itu komisarisnya, NAT dan sekarang dia jadi tersangka, karena ada aliran dana yang kita telusuri juga mengalir kepada yang bersangkutan,” beber Wadireskrimum.
Dikatakannya, pasal yang diterapkan terhadap para tersangka, awalnya penggelapan dalam jabatan, tetapi penyidik melihat ada aliran dana dan kejahatan yang ada di perbankan.
Dengan demikian, kata dia, pasal yang diterapkan adalah pasal primer, yakni Pasal 2 Ayat 1 huruf e dan i, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Kemudian, Pasal 49 Ayat 1 dan 2 jo Pasal 14 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 374 jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 dan Pasal 56 KUHPidana.
“Saat ini semua tersangka masih wajib lapor, belum ditahan. Untuk kerugian sebesar Rp. 345,8 milliar itu, ada pengembalian sekitar Rp. 175 miliar. Saat ini, kita telusuri asetnya, maka tersangka belum ditahan untuk kepentingan pengembangan asset tracing,” tutup Wadireskrimum. [HEN-R1]