Manokwari, TABURAPOS.CO – Akhirnya, masyarakat adat Sub Suku Djopari-Wero amemblokade dua akses jalan Trans Papua Barat, tepatnya di Mameh-Windesi, ruas jalan yang menghubungkan Kabupaten Teluk Wondama dan Teluk Bintuni, Senin (6/11).
Selain memblokade ruas jalan, masyarakat juga memalang Kantor Satker Bintuni BPJN di Kampung Karuan, Kabupaten Teluk Wondama. Aksi blokade ruas jalan dan pemalangan kantor tersebut sembari menunggu proses hukum yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari sampai selesai.
Wakil Ketua I Dewan Adat Sub Suku Djopari-Wero, Suku Wamesa, Distrik Wamesa dan Distrik Nikiwar, Teluk Wondama, Raymond Djopri membenarkan pemalangan ruas jalan Trans Papua Barat untuk pembangunan segmen kedua, Mameh-Windesi.
Sebab, jelas Djopari, dari proses mediasi yang ketujuh kalinya di PN Manokwari, belum tercapai kesepakatan di antara pemilik hak ulayat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat.
Dikatakannya, dalam mediasi ketujuh kalinya di PN Manokwari, Jumat (27/10), masyarakat sudah menyampaikan bahwa mereka akan menutup akses jalan Trans Papua Barat sampai tuntutan ganti rugi bisa diselesaikan.
“Memang pada mediasi ketujuh, Pemprov Papua Barat menolak tuntutan kami. Artinya, dari proses mediasi akan masuk pada pemeriksaan dokumen atau pokok perkara. Masyarakat sudah meminta untuk akses jalan ditutup sementara. Aksi blokade dan pemalangan kantor ini sudah disampaikan dalam ruang media di PN Manokwari,” tandas Djopari kepada Tabura Pos via ponselnya, Senin (6/11).

Ia menambahkan, masyarakat memalang Kantor Satker Bintuni BPJN di Kampung Karuan, karena selama proses mediasi, tidak ada perwakilannya, padahal mereka yang mengerjakan jalan tersebut.
“Jalan ini melewati hutan adat masyarakat adat Sub Suku Djopari-Wero, dalam kawasan hutan lindung dan taman nasional, sehingga menghilangkan tiga perempat wilayah adat dari masyarakat adat Djopari-Weri, sehingga masyarakat adat merasa dirugikan,” kata Djopari.
Di samping itu, ia membeberkan, sebelum pengerjaan ruas jalan tersebut, tidak ada konsultasi publik dan sosialisasi dari pemda terhadap masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat.
“Pembangunan jalan ini berada dalam kawasan hutan lindung dan taman nasional kawasan konservasi yang akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan hutan adat Sub Suku Djopari-Wero,” ungkapnya.
Menurut Djopari, apabila pembangunan jalan tersebut sesuai Perda Kabupaten Teluk Bintuni, maka jalan tersebut melalui jalan logging milik PT Henrison, tetapi sekarang, pembangunan jalan langsung melalui wilayahnya, sehingga mereka kehilangan wilayah adat dan wilayah adat pemerintahan.
“Kami akan terus berupaya sampai wilayah adat dan wilayah administrasi kami kembali seperti semula. Hanya saja, sampai saat ini proses mediasi yang ketujuh kalinya belum mencapai kesepakatan dan akan masuk pada tahapan pokok perkara,” tutup Djopari. [FSM-R1]