
Manokwari, TP – Perbedaan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) atau pungutan liar (pungli) Polymerase Chain Reaction (PCR) di RSUD Manokwari dan kasus yang dialami YAY, mantan Ketua Fraksi Otonomi Khusus (Otsus) DPR Papua Barat.
Kuasa hukum YAY, Rustam, SH menilai, dengan perbedaan penanganan kasus dugaan pungli PCR yang tidak dilanjutkan, kemudian dikembalikan ke Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan kasus yang dialami kliennya, menunjukkan adanya diskriminasi penegakkan hukum.
“Itu yang dibilang boleh masuk dalam diskriminasi penegakkan hukum,” kata Rustam kepada Tabura Pos di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, pekan lalu.
Dikatakan Rustam, ketika terjadi suatu pelanggaran administratif, maka harus dikembalikan ke APIP. Sedangkan ketika APIP menemukan ada suatu tindak pidana, lanjut Rustam, APIP akan menyerahkan ke APH (Aparat Penegak Hukum), dalam hal ini pihak kepolisian atau kejaksaan.
“Jangan terbalik-balik, justru aparat kepolisian yang mau kasih ke APIP. Ini terbalik, APIP ketika ada tindak pidana atau tindak pidana korupsi di situ, diserahkan ke APH, kalau yang bersangkutan tidak mau mengembalikan kerugian keuangan negara,” jelas Rustam.
Dengan demikian, ia mengatakan, perbandingan kasus dugaan pungli di RSUD Manokwari akan membuat masyarakat kebingungan dan menimbulkan kesan tebang pilih.
“Penegakkan hukum jangan kayak begini. Itu akan menimbulkan presenden buruk terhadap kinerja aparat. Nanti ada yang perbandingkan, loh PCR saja kemarin dikembalikan, dia bisa kok. Kenapa saya tidak bisa? Akhirnya, nanti orang bilang, kalau begitu saya korupsi saja. Ketika ketahuan atau ketangkap, saya kasih kembali, aman. Saya tidak perlu dihukum,” katanya dengan nada kesal.
Disinggung tentang uang hasil pungli PCR di RSUD Manokwari yang sampai sekarang tak kunjung dikembalikan ke masyarakat, Rustam menjawab, bertanyalah pada rumput yang bergoyang.
“Kenapa mau diundang (masyarakat) kembali? Itu suap kok. Suap itu sudah jelas dalam unsur tindak pidana korupsi kok, dan itu nyata. Ini nyata kok jadi kabur ka, buram ka. Barang yang nyata saja dikaburkan, apalagi barang yang tidak nyata,” ujar Rustam.
Sementara untuk proses praperadilan yang dilakukan kliennya terhadap Kapolda Papua Barat dan Direskrimsus Polda Papua Barat, Rustam menjelaskan, pihaknya ingin menguji prosedur sebagaimana Pasal 77 KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU-XIII/2015.
“Pengadilan berwenang menguji penangkapan, penahanan dan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Ditambah lagi dengan putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang melengkapi Pasal 77 KUHAP, dimana materi dan objek praperadilan ditambah dengan penetapan tersangka, penggeledahan sama penyitaan. Berarti, kita masuk ke penetapan tersangka. Ini secara aturannya,” terang Rustam.
Dirinya menambahkan, apa yang dilakukan Pemohon ini karena adanya kejanggalan, apalagi ini tipikor dan alat bukti yang dipakai dalam suatu tindak pidana korupsi harus hasil audit instansi yang berwenang sebagaimana peraturan perundang-undangan.
“Kalau hasil pemeriksaan Inspektorat, kan audit internal atau audit rutin, bisa dikatakan begitu. Tidak bisa dijadikan alat bukti dalam tipikor. Dalam putusan MK itu sudah jelas mengatakan adanya kerugian negara yang riil,” tegasnya.
Siapa yang bisa mengetahui kerugian keuangan negara yang riil, kata Rustam, ahli dan auditor yang ditunjuk sesuai aturan dan mempunyai kewenangan, seperti BPK atau BPKP.
“Tapi yang saya tahu, ini hasil pemeriksaan Inspektorat yang dipakai sebagai alat bukti dalam kasus ini. Itu terbalik, tidak bisa dipakai sesuai putusan MK. Harus ada kerugian negara yang riil, yang nyata, untuk tindak pidana korupsi. Hasil audit itu diminta penyidik yang melakukan penyidikan. Minta baru dilakukan audit,” papar Rustam.
Oleh sebab itu, Rustam mengatakan, sampai saat ini status kliennya menjadi tidak jelas. Namun, ia tidak menampik jika kliennya sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan tipikor.
“Otomatis, dengan format yang ada ini, mereka sudah berkesimpulan, klien saya ini tersangka. Format ini juga bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 dan surat Telegram Kabareskrim Nomor: ST/225/VII/2017/BARESKRIM tertanggal 13 Juli 2017, itu sangat kontra. Padahal itu dasar,” tukasnya.
Ditanya apakah kliennya sudah menerima SPDP atau surat panggilan yang mengarah ke status kliennya sebagai tersangka, ia menegaskan, sampai sekarang tidak ada.
“Cuma satu kali, dua kali dipanggil, dimintai keterangan, kemudian diminta membawa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah ini. Itu saja, selanjutnya, tidak ada. Yang paling krusial adalah SPDP, karena ketika SPDP diberitahukan ke terlapor, itu menandakan bahwa terlapor harus menyiapkan diri, ada masalah ini. Dokumen apa saja yang harus disiapkan. Itu gunanya SPDP,” jelas Rustam.
Ia juga mempertanyakan proses hukum terhadap kliennya dengan waktu sangat singkat, hanya dalam waktu 3 hari. “LP (laporan polisi) tanggal 13 September 2021, sprindik tanggal 14 September 2021, dan tanggal 15 September, itu SPDP. Luar biasa, Power Ranger ka,” katanya keheranan.
Di samping itu, ungkap Rustam, ketika SPDP dikirim ke Kejati Papua Barat, Kajati Papua barat memberi disposisi, dilingkari dan disilang, lalu diberikan ke Aspidum, padahal ini tipikor.
“Kok bisa langsung Kajati memberikan disposisi ke Aspidum, bukan Aspidsus, padahal dia yang punya kewenangan untuk tipikor. Ini tentu menjadi pertanyaan, Anda melakukan ini, berarti ini tindak pidana umum. Saya akui, Kajati paham, dalam SPDP itu harus memenuhi syarat-syarat formal atau tidak,” tambah Rustam.
Sekaitan dengan adanya nama 3 media dalam gugatan praperadilan, Rustam menerangkan, memang untuk permintaan maaf di media, tidak ada aturan umum atau khusus.
“Media mana pun bisa, tergantung kita mau yang mana, terserah. Tidak ada standar atau aturan bahwa harus ke media ini. Mungkin media ini yang angkat duluan, katakan begitu, untuk membersihkan nama baik klien saya selaku Kepala Suku Wondama di tanah Papua dan anak adat,” pungkas Rustam. [HEN-R1]