Manokwari, TP – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut tidak profesional, diskriminatif, dan tebang pilih dalam pengungkapan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan objek pemeriksaan PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu) di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya pada 12-13 November 2023 silam.
Hal ini disampaikan mantan Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat, Patrice L. Sihombing dalam persidangan beragenda pembacaan pembelaan atau pledoi pribadi, di Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Senin, 29 Juli 2024.
Di hadapan ketua majelis hakim, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, dan para penasehat hukum dari ketiga terdakwa, Patrice Sihombing membeberkan sejumlah kejanggalan dan catatannya sejak penangkapan sampai proses persidangan saat ini.
Dirinya merincikan, KPK tidak profesional dalam hal penggunaan SprinLidik yang tidak sesuai locus pada proses penyelidikan.
Sebab, dalam proses penangkapan dan penggeledahan rumahnya, KPK memakai dan menunjukkan SprinLidik di Kabupaten Biak Numfor Tahun 2022-2023 dan atau pemekaran wilayah Papua, bukan penyelidikan dugaan tipikor di Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Kota Sorong, Provinsi PBD.
“Penggunaan SprinLidik di luar wilayah kerja BPK Papua Barat. Oleh karenanya tidak sesuai dengan permasalahan dan locus, sehingga sangat tidak lazim dan tidak dibenarkan dan terlihat tidak profesional serta sangat janggal,” ujar Patrice Sihombing.
KPK juga dituding diskriminatif dan tebang pilih dalam hal penetapan tersangka dari pihak penerima uang dalam proses penyidikan. Sebab, tambah dia, ada 2 auditor BPK yang merupakan ketua tim yang ikut di OTT, tetapi tidak dilanjutkan ke proses penyidikan dan tidak ditetapkan sebagai tersangka, yaitu: Dzul Firmansyah Dengo (Ketua Tim PDTT Belanja Kota Sorong) dan Charles Ignasius Wiyono (Ketua Tim PDTT Belanja Kabupaten Sorong Selatan).
Padahal, jelas Patrice Sihombing, dalam dakwaan disebutkan secara bersama-sama dirinya, Abu Hanifa, Dzul Firmansyah, dan Charles Ignatius, menerima uang, sedangkan David Pata Saung dengan status dan perbuatan tindak pidana yang sama, telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa KPK diskriminatif dan melakukan tindakan tebang pilih dalam melaksanakan proses penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka serta penuntutan.
“Kalau jaksa dapat bertindak sebagai penuntut umum menuntut saya menerima uang bersama-sama, maka saya juga menuntut JPU agar melakukan tuntutan yang sama kepada Dzul Firmansyah Dengo dan Charles Ignatius Wiyono untuk dituntut sebagai terdakwa penerima,” pinta Patrice Sihombing yang pernah mendapat penghargaan Satya Lencana Wira Karya 2001 dari Presiden Abdurrahman Wahid, karena ikut melakukan pemeriksaan investigasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ia juga menyebut KPK diskriminatif dan tebang pilih dalam hal penetapan tersangka dari pihak pemberi uang. Sebab, KPK sudah melakukan pemeriksaan dan penyidikan terhadap beberapa orang dari Pemkot Sorong dan Pemkab Sorsel, tetapi pemeriksaan tidak dilanjutkan sampai ke penetapan tersangka.
Dirincikan Patrice Sihombing, berdasarkan fakta persidangan, Selasa, 11 Juni 2024, Hengky Tetelepta (staf Inspektorat Kota Sorong) memberi uang kepada Dzul Firmansyah Dengo sebesar Rp. 520 juta.
Uang tersebut diperolehnya dari Sarah Kondjol sebesar Rp. 200 juta dan Margaretha Lazarus sebesar Rp. 300 juta serta Rp. 20 juta dari Amos Jitmau selaku Kepala Perpustakaan. Selain itu, kata dia, ada pemberian langsung dari Aryanti Sopia Kondolongit (Kepala BPKAD Kota Sorong) kepada Dzul Firmansyah Dengo sebesar Rp. 150 juta.
Selain itu, berdasarkan fakta persidangan pada Selasa, 5 Mei 2024, Frans Barnie Kewetare (Kepala BPKAD Kabupaten Sorsel) memberi uang sebesar Rp. 190 juta kepada Charles Ignatius Wiyono.
Menurut dia, pemberian uang oleh ASN dari Pemkot Sorong dan Pemkab Sorsel, menunjukkan status dan perbuatan tindak pidananya adalah sama dengan perbuatan dari Pemkab Sorong atas nama Yan Piet Mosso, Efer Segidifat, dan Maniel Syatfle.
“Namun perlakuan KPK sangat diskriminatif dan tebang pilih. ASN dari Kabupaten Sorong telah ditetapkan sebagai terdakwa dan divonis PN Manokwari pada Selasa, 23 April 2024, tetapi ASN dari Kabupaten Sorsel dan Kota Sorong tidak ditetapkan sebagai tersangka,” katanya dengan nada tanya.
Ditegaskan Patrice Sihombing, demi keadilan dan kepastian hukum, jika jaksa dapat bertindak sebagai penuntut umum menuntut Yan Piet Mosso, Maniel Syatfle, dan Efer Segidifat sebagai pemberi uang, maka dirinya menuntut JPU agar melakukan tuntutan terhadap orang-orang yang memberikan uang dari Pemkot Sorong dan Pemkab Sorsel.
Patrice Sihombing menilai KPK tidak profesional dalam hal menetapkan jumlah uang dalam dakwaan antara pemberi dan penerima uang. Diutarakannya, jumlah uang yang menjadi objek perkara pemberi suap dari Pemkab Sorong sebesar Rp. 450 juta dan permasalahan ini sudah diputus dalam sidang di PN Manokwari, Selasa, 23 April 2024 dengan perubahan nilai suap menjadi Rp. 430 juta, tetapi jumlah uang yang menjadi objek dakwaan penerima suap sebesar Rp. 1 miliar.
“Perbedaan jumlah uang dalam surat dakwaan antara pemberi dan penerima suap menunjukkan surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat KPK tidak jelas, sangat janggal, dan tidak masuk akal,” kata Patrice Sihombing.
Mantan Kepala Perwakilan BPK Papua Barat ini membeberkan bahwa KPK diskriminatif, tebang pilih, dan sengaja menyembunyikan saksi dalam proses penyidikan. Dalam proses penyidikan di Jakarta, Sorong, dan Manokwari, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik/139/Dik.00/01/11/2023 tanggal 14 November 2024.
Berdasarkan data pemanggilan dan pemeriksaan para saksi dalam proses penyidikan menunjukkan jumlah para saksi dan dokumen BAP sebanyak 177, diantaranya unsur auditor BPK sebanyak 72 saksi.
Namun, rinci Patrice Sihombing, ada 2 auditor yang seharusnya diperiksa, yakni ketua tim dan anggota Tim Pemeriksaan LKPD Tahun Anggaran 2022 yang pemeriksaannya pada Semester I 2023 atas nama Budi Setiawan dan Lestari Puji Astutinigrum, tidak termasuk dalam 177 saksi sesuai berkas penyidikan.
Dirinya membeberkan, keduanya tidak pernah diperiksa KPK dan tidak ada BAP-nya meski namanya selalu disebut dalam BAP dan kesaksian para saksi dari Pemkab Sorsel dan dinyatakan telah menerima uang dari Frans Kewetare selaku Kepala BPKAD Kabupaten Sorsel pada pemeriksaan pendahuluan LKPD 2022 untuk Budi Setiawan sebesar Rp. 30 juta dan Lestari Puji Astutiningrum sebesar Rp. 20 juta serta pada pemeriksaan terperinci LKPD 2022 untuk Budi Setiawan sebesar Rp. 30 juta dan Lestari Puji Astutiningrum sebesar Rp. 20 juta.
Lanjut dia, kedua auditor ini tidak pernah dipanggil dan diperiksa KPK, berbeda dengan pengendali teknis dan anggota tim lain, yaitu: Kasman Alwi dan para anggota tim yang terdiri dari Thia Chairunnisa Poetri, Rio Dwiki Perwira, Jemima Vanessa Rara Tandiabang, Andi Putesyahrullah dan M. Zainal yang seluruhnya diperiksa dan dibuat BAP-nya.
“Hal ini menunjukkan bahwa penyidik KPK telah melakukan tindakan secara tebang pilih dan diskriminatif serta sengaja menyembunyikan saksi dalam melaksanakan proses penyidikan dan pemanggilan saksi,” ungkapnya.
Dirinya menambahkan, Lestari Puji Astutiningrum ternyata istri dari salah seorang penyelidik KPK yang ikut melaksanakan OTT di Manokwari pada 13 November 2023 atas nama Dwi Prasetyo Aji Nugroho.
Dikatakan Patrice Sihombing, tindakan ini merupakan kesengajaan dari penyidik menyembunyikan 2 auditor sebagai saksi dan berindikasi sarat dengan benturan kepentingan dalam merencanakan dan melaksanakan OTT.
“Kedua auditor itu sengaja meminta kepada saya untuk tidak diikutkan dalam pemeriksaan semester II 2023 karena terindikasi sudah mengetahui rencana OTT yang akan dilakukan KPK kepada para auditor pemeriksa PDTT,” beber Patrice Sihombing.
Di samping itu, ia menyebut JPU KPK bermain kata-kata, seperti penggunaan kata ‘nanti’, ‘berbisik-bisik’, ‘representasi’, ‘pengkondisian’, dan ‘mengorbankan anak buah’.
“Tuntutan ini merupakan fitnah yang paling kejam saya terima selama 55 tahun saya hidup sebagai manusia. Menurut saya, penyidik KPK dan JPU yang mengorbankan saya dan menjadikan saya sebagai pesakitan dalam perkara ini dengan permainan kata-kata dan menafsirkan keterangan saksi-saksi sesuai kehendaknya agar saya dapat dijerat turut serta menerima uang,” sesalnya.
Dijelaskannya, permainan kata-kata dari JPU ini merupakan cerita bohong yang dibangun berdasarkan asumsi dan dugaan tanpa didukung alat bukti yang valid.
“Perbuatan beberapa auditor yang terbukti menerima uang di luar pengetahuan saya, tetapi saya yang dijadikan korban. JPU juga tidak dapat membuktikan penerimaan uang kepada saya, baik secara langsung maupun tidak langsung dari seluruh pemda yang menjadi objek pemeriksaan PDTT maupun objek pemeriksaan kinerja semester II 2023,” tambah Patrice Sihombing.
Ia juga mengingatkan para JPU yang terhormat. “Percayalah Tuhan itu tidak diam dan melihat apa yang kalian perbuat kepada saya. Percayalah hukum tabur tuai itu nyata, satu per satu dari orang-orang yang telah memfitnah saya akan menuai murka dari Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar Patrice Sihombing.
Sebelum mengakhiri pembelaannya, Patrice Sihombing memohon majelis hakim agar berkenan membebaskannya dari semua tuntutan JPU berdasarkan seluruh fakta persidangan dan uraian yang disampaikannya.
“Sebelum saya mengakhiri pembacaan pledoi ini, saya akan bacakan salah satu adagium hukum yang paling terkenal ‘lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah’,” pungkas Patrice Sihombing. [TIM2-R1]