Manokwari, TP – Kejati Papua Barat diminta transparan dalam penanganan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan Mogoy-Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni pada Tahun Anggaran 2023.
Permintaan tersebut disampaikan Parlemen Jalanan (Parjal) Papua Barat dalam aksi unjuk rasa di halaman Kejati Papua Barat, Selasa (22/10/2024) sekitar pukul 12.00 WIT.
Menurut Panglima Parjal Papua Barat, Ronald Mambieuw, dalam penanganan kasus ini, pihaknya mendengar informasi dari luar jika terduga pelaku berupaya mengembalikan kerugian keuangan negara.
Dikatakannya, jika ini benar, maka pihaknya memandang mekanisme ini keliru dan terkesan ada konspirasi penutupan atau upaya memberikan keringanan.
Mambieuw menegaskan, jika memang ada pengembalian kerugian keuangan negara, maka itu harus dilakukan sesuai mekanisme dan pengembalian tidak bisa menghapus unsur pidana terhadap terduga pelaku.
Untuk itu, Mambieuw meminta pihak kejaksaan transparan dalam penanganan kasus ini, karena menduga terduga pelaku berdalil ingin meredam aksi-aksi yang menyangkut dirinya.
Ia mengaku mempunyai bukti-bukti komunikasi terkait pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan terduga pelaku.
Diutarakannya, hal ini kemudian memunculkan pertanyaan, apa dasar pengembalian kerugian negara dan seharusnya Kejati menyampaikan ke publik bahwa terduga pelaku sudah dipanggil dan siap bertanggung jawab mengembalikan kerugian negara.
“Tidak harus kemudian yang bersangkutan mengklaim mereka sudah mengembalikan kerugian negara. Ini menjadi pertanyaan kami. Kalau ada pengembalian tanpa melibatkan kejaksaan, tetapi melalui calo, sehingga harus transparan. Kejati harus tegak lurus,” pinta Mambieuw kepada para wartawan di sela-sela aksi unjuk rasa, kemarin.
Ketua Ksatria Parjal Manokwari, Ruben Bonay menyampaikan 7 poin tuntutan dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan, yakni sesuai prinsip hukum, pengembalian apapun tidak dapat menghapus pidananya.
Ditegaskan Bonay, pengembalian kerugian keuangan negara harus berdasarkan putusan pengadilan dan rekening penyimpanan jelas, tidak sembunyi-sembunyi.
Dirinya meminta pihak Kejati segera menetapkan Plt. Kepala Dinas PUPR Provinsi Papua Barat berinisial N sebagai tersangka pembangunan jalan Mogoy-Merdey, Teluk Bintuni Tahun Anggaran 2023 dengan kerugian ditaksir Rp. 8,5 miliar.

Bonay juga meminta Kejati tidak tebang pilih setelah penggeledahan di Kantor Dinas PUPR, belum lama ini. Di samping itu, ia meminta para petinggi di Papua Barat tidak mengintervensi atau melindungi para perampok uang negara.
Ditegaskan Bonay, pihaknya akan terus memonitor dan ikut mengumpulkan bukti supaya bisa terus mempertanyakan keseriusan perkara dugaan korupsi ini.
Menanggapi aksi unjuk rasa ini, Asintel Kejati Papua Barat, Muhammad Bardan mengapresiasi semangat dan dukungan masyarakat terhadap Kejati untuk mengusut tuntas penanganan kasus tersebut.
Dijelaskannya, penanganan kasus ini sudah masuk tahap penyidikan dan pihaknya memastikan akan menangani kasus ini secara transparan dan terbuka. “Terima kasih atas semangatnya. Kami mohon seluruh masyarakat mengawal kasus ini,” harap Bardan.
Kepala Seksi Penindakan (Kasidik) Pidana Khusus Kejati Papua Barat, Josua Wanma menegaskan, perkara ini tidak akan berhenti, karena kasusnya dalam proses penyidikan dan tetap berjalan sesuai perintah Kajati Papua Barat.
Dijelaskan Wanma, pendalaman terus dilakukan, sehingga masyarakat diminta bersabar mengingat perkara ini adalah perkara jalan yang harus ada ahlinya.
Menurutnya, sejumlah saksi telah diperiksa dan ujung dari penyidikan ini akan ada penetapan tersangka. Soal pengembalian kerugian keuangan negara, Wanma mengaku sampai hari ini, pihaknya belum menerima pengembalian, baik kepada dirinya selaku Kasidik, tim penyidik, maupun Kajati.
Untuk itu, Wanma menegaskan, jika ada informasi yang beredar di luar tentang adanya pengembalian secara resmi, itu tidak ada dan tidak benar. Jika ada pengembalian kerugian keuangan negara, itu tidak menghapus unsur pidananya.
“Kami akan profesional, kami tidak akan tebang pilih. Bukan hanya PUPR, banyak laporan masuk ke kami, tapi kami tetap profesional dan secepatnya kami akan sampaikan kepada media,” kata Wanma.
Tunggu Perhitungan BPKP dan Ahli Kontruksi
Soal perkembangan penanganan kasus tersebut, ia mengatakan, pihaknya sedang melakukan pemeriksaan ahli konstruksi dan perhitungan kerugian keuangan negara dari BPKP Perwakilan Provinsi Papua Barat terhadap dugaan korupsi proyek pembangunan jalan Mogoy-Merdey di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun Anggaran 2023 sebesar Rp. 8,5 miliar.
Menurut Kasidik, setelah penerbitan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) pada 4 Oktober 2024, sekitar 15 saksi sudah diperiksa, baik itu dari Dinas PUPR, 2 konsultan, yakni konsultan perencana dan pelaksana serta lain sebagainya.
Dari hasil pemeriksaan awal, kata Wanma, pihaknya telah melakukan pemeriksaan di lapangan dengan hasil pemeriksaan sesuai berita acara, lalu hasilnya itu oleh ahli konstruksi sudah dibawa untuk dilakukan pengujian laboratorium.
Dijelaskannya, pengujian laboratorium sekitar 5 hari lalu sudah dimasukkan usai penyidik turun ke lapangan.
Untuk BPKP, ungkap Wanma, pihaknya sudah melakukan sonding terkait administrasi, karena di BPKP sendiri sudah ada aplikasinya, sehingga melalui aplikasi untuk meng-upload data, dokumen, keterangan NPWP, dan sebagainya.
“Kemudian mungkin ada LKPP juga terkait pengadaan barang dan jasa untuk lelang. Memang dijadwalkan kami minggu ini perkara BRI, minggu depan kami fokus untuk Pokja ULP. Kemudian untuk pemanggilan Direktur CV. GBT yang di Jayapura dan ada beberapa keterangan pengawas untuk menguatkan berita acara itu, lalu ahli untuk keterangan ahli dan BPKP,” papar Wanma kepada para wartawan di Kejati Papua Barat, Selasa (22/10).
Dirinya menjelaskan, dalam rangkaian penyidikan umum nanti setelah ada hasil dari ahli konstruksi dan hasil perhitungan BPKP, selanjutnya penyidik akan berpendapat terhadap hasil penyidikan tersebut.
Wanma menambahkan, dari hasil pemeriksaan, jika sesuai perencanaan itu, ada beton lantai 8 cm dan beton rigid 25 cm, tetapi setelah dilakukan pemeriksaan di lapangan dan dilakukan pengambilan sampel pada 6 titik, ternyata setelah diukur beton rigid dan beton lantai itu menjadi satu, hanya 25 cm.
Padahal, jelas Wanma, seharusnya beton lantai 8 cm sesuai kontrak, karena di dalam spesifikasi pekerjaan seharusnya 25 cm beton rigid dan 8 cm beton lantai.
“Kalau penetapan tersangka menunggu hasil laboratorium terhadap indikasi yang kami duga ini, kemudian hasil BPKP,” katanya. [AND-R1]