Manokwari, TP – Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, menolak tegas program transmigrasi ke Papua di perempatan Makalew, Senin (4/11). Aksi unjuk rasa ini dikawal ketat aparat kepolisian.
Situasi sempat memanas dan nyaris terjadi bentrok di antara pengunjuk rasa dan aparat kepolisian. Namun situasi bisa terkendali dan pengunjuk rasa bisa menyampaikan aspirasinya.
Dalam aksinya, para pengunjuk rasa menolak program transmigrasi, karena dinilai hanya akan menambah persoalan di tanah Papua.
Sebab, transmigrasi hanya akan menyebabkan situasi semakin sulit bagi orang asli Papua, karena mereka (transmigran) akan menguasai sistem perekonomian yang akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.
“Kami menolak transmigrasi 100 persen. Salah satu buktinya saat penerimaan pegawai, kita sangat sulit diakomodir,” sebut seorang pengunjuk rasa.
Pengunjuk rasa juga menganggap transmigrasi di tanah Papua merupakan sistem kolonialisme yang sedang berkembang dan tidak boleh terus terjadi di tanah Papua. Untuk itu, pengunjuk rasa menolak agenda transmigrasi ke tanah Papua, karena Papua bukan tanah kosong, ada masyarakatnya. “Hentikan transmigrasi ke tanah Papua agar tidak menambah konflik,” ujar pengunjuk rasa.
Ada pun alasan penolakan terhadap program transmigrasi ke Papua, karena masyarakat merasa rencana tersebut akan mengancam keberadaan dan kesejahteraan orang asli Papua.
Rakyat Papua berpendapat bahwa transmigrasi bukan kebutuhan utama, justru sebaliknya, akan memperburuk situasi sosial dan ekonomi, bahkan bisa mengakibatkan peminggiran dan penguasaan tanah adat oleh pendatang.
Masyarakat Papua lebih menginginkan adanya penyelesaian masalah lebih mendasar, seperti keadilan, hak asasi manusia, dan dialog yang bermartabat daripada program transmigrasi yang dinilai tidak berpihak terhadap masyarakat Papua.
Selain itu, dampak sosial yang bisa ditimbulkan dari program transmigrasi dengan membawa masuk penduduk dari luar ke Papua dalam jumlah besar, bisa mempercepat pertumbuhan penduduk non Papua.
Hal tersebut bisa menjadikan orang asli Papua menjadi minoritas di tanah Papua, terutama di wilayah perkotaan, seperti Jayapura dan Manokwari. Perubahan ini tentunya berpotensi menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap fasilitas dan pelayanan publik.
Dari sisi ekonomi, pengunjuk rasa menilai para pendatang baru bisa meningkatkan persaingan di pasar kerja lokal, terutama sektor informal atau pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja. Hal itu bisa menimbulkan ketidakpuasan bagi orang asli Papua yang merasa posisinya terancam atau digantikan oleh pendatang.
Di samping itu, banyak program transmigrasi disertai proyek ekonomi besar yang bertujuan mengembangkan wilayah, seperti perkebunan atau pertambangan. Proyek-proyek ini bisa saja berdampak negatif terhadap masyarakat lokal asli Papua jika tidak terlibat dalam proses perencanaan, malah kehilangan akses ke tanah adat yang menjadi sumber penghidupan bagi orang asli Papua.
Dari sisi budaya, semakin banyak pendatang dari luar, maka budaya asli Papua beresiko tergeser, bahkan terhapus. Peningkatan kontak dengan budaya luar, bisa memengaruhi adat, bahasa, dan kebiasaan orang asli Papua, terutama di daerah perkotaan.
Dari sisi politik, peningkatan jumlah penduduk non Papua bisa mencakup posisi politik orang asli Papua dalam sistem pemerintahan lokal. Jika penduduk asli Papua menjadi minoritas, maka akan kehilangan representasi politik yang memadai untuk memperjuangkan hak dan kepentingan orang asli Papua di Papua.
Dari sisi ekologi, pengembangan infrastruktur untuk mendukung transmigrasi bisa mengakibatkan deforestasi, polusi, dan degradasi lingkungan yang berdampak terhadap keberlangsungan kehidupan flora dan fauna di Papua.
Hilangnya keanekaragaman hayati akan berdampak langsung terhadap komunitas adat Papua yang sangat bergantung pada hutan untuk kebutuhan hidup dan ritual budaya orang asli Papua. “Jadi, kami tolak 100 persen program transmigrasi,” tegas pengunjuk rasa.
Selanjutnya, aspirasi berisi 5 poin penting dari pengunjuk rasa diserahkan dan diterima Ketua DPR Papua Barat, Orgenes Wonggor. Dikatakannya, pernyataan sikap dan aspirasi dari mahasiswa sudah diterima dan akan ditindaklanjuti ke tingkat pusat tentang penolakan program transmigrasi.
“Kalau gambaran untuk transmigrasi ke Papua Barat, kita belum tahu. Intinya, aspirasi ini akan kita teruskan ke Pemerintah Pusat, kalau ada penolakan dari masyarakat,” ujar Wonggor kepada para wartawan usai menerima aspirasi pengunjuk rasa.
Sementara itu, Kabag Ops Polresta Manokwari, Kompol Wisnu Prasetyo mengatakan, dalam aksi ini, sebanyak 150 personil dikerahkan untuk melakukan pengamanan dan pengaturan arus lalu lintas.
Diakui Kabag Ops, dalam pengamanan tersebut, aparat kepolisian sempat saling dorong dengan massa, karena massa minta untuk melakukan longmarch ke DPR Papua Barat, tetapi tidak diizinkan dengan pertimbangan keamanan.
“Memang tadi sempat ada saling dorong karena massa minta longmarch, tetapi tidak diizinkan,” kata Prasetyo kepada Tabura Pos usai unjuk rasa.
Dari pantauan Tabura Pos, aksi unjuk rasa berlangsung mulai pukul 09.00 WIT dan berakhir sekitar pukul 13.30 WIT. Aksi unjuk rasa berakhir aman dan tertib. [AND-R1]