Manokwari, TP – Solidaritas Mahasiswa Ikmafak, BEM Unipa, STIH Manokwari, dan PMKRI menggelar aksi unjuk rasa di halaman Kejati Papua Barat, Jumat, 15 November 2024.
Unjuk rasa ini diterima Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Papua Barat, Muhammad Bardan, dengan pengawalan ketat aparat kepolisian.
Dalam aksi ini, para mahasiswa meminta Kejati memanggil Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Fakfak untuk dimintai pertanggungjawaban masalah sengketa tanah asrama mahasiswa dan mahasiswi Fakfak di Kabupaten Manokwari.
Di samping itu, pengunjuk rasa juga menuntut agar memeriksa semua fasilitas mahasiswa Fakfak di seluruh Indonesia, termasuk meminta pihak kejaksaan memanggil pihak PT Fulica terkait sengketa tanah asrama Fakfak di Manokwari.
Salah satu peserta aksi, Rusman mengatakan, aksi dilakukan di Kejati, bukan ke Pemkab Fakfak, karena penyelesaian asrama Fakfak, dalam proses administrasi, diduga ada unsur pidana.
Dijelaskannya, Pemkab Fakfak sebagai pihak pertama mempunyai tanah dari PT Fulica sebagai pihak kedua. Dalam proses pembelian tanah yang dinyatakan lunas, tapi dalam sertifikat tanah yang ditemukan, statusnya itu bukan hak milik, tetapi hak pakai.
Dengan demikian, pengunjuk rasa menilai ada indikasi penyalahgunaan APBD Kabupaten Fakfak yang digelontorkan untuk membayar tanah asrama.
Untuk itu, mereka meminta pihak Kejati memanggil para pihak terkait agar melakukan klarifikasi terkait status pembelian tanah asrama Fakfak di Manokwari.
“Persoalan ini dimulai sejak 2015. Pemda Fakfak menyatakan tidak bisa melakukan pembayaran pada satu aset karena ada temuan, tetapi dalam perjalanannya, Pemda Fakfak mengeluarkan APBD untuk melakukan pembayaran secara sembunyi-sembunyi,” ungkap Rusman.
Ia menambahkan, jika ditemukan ada unsur pidana, maka mereka menginginkan diproses secara hukum. Untuk itu, mereka meminta Pemkab Fakfak mengikuti prosedur atau menggugat secara hukum agar mendapat kepastian hukum, apakah betul PT Fulica sebagai pemilik tanah atau bukan.
Namun, Pemkab Fakfak tidak berani, sehingga diduga Pemkab Fakfak melakukan proses yang mengarahkan ke pidana.
“Kami datang dengan beberapa bukti terkait sertifikat dan beberapa pembayaran yang dilakukan Pemda Fakfak. Kami harap ini menjadi bukti petunjuk kepada kejaksaan untuk memanggil pihak-pihak terkait. Kalau ada temuan yang mengarah ke pidana, kami mendukung Kejati melakukan proses hukum, karena ini persoalan bukan hanya terjadi di Manokwari, tetapi di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Mahasiswi asal Fakfak, Elsia Komber mengaku, mereka terpaksa meninggalkan asrama sejak 11 November 2024. Sebab, lanjut dia, proses pembayaran yang belum diselesaikan Pemkab Fakfak ke pemilik tanah asrama yang berlokasi di Anggori, Kelurahan Amban tersebut.

Dirinya mengungkapkan, ada sekitar 28 mahasiswi dari asrama putri dan 25 mahasiswa dari asrama putra, harus terdampak, sehingga tinggal untuk sementara waktu di rumah keluarga kerukunan di Reremi.
“Saya harap Kejati bisa membantu kami menyelesaikan masalah yang terus terjadi dan tidak ada penyelesaian,” harapnya.
Sedangkan pemilik tanah asrama Fakfak di Manokwari, Agustina Mandacan mengaku memiliki surat lengkap atas kepemilikan tanah tersebut.
“Kenapa bisa PT Fulica jual tanah itu, karena itu tanpa sepengetahuan kami,” kata Agustina Mandacan kepada para wartawan di Kejati Papua Barat, kemarin.
Anak dari Agustina Mandacan, Aneta Ullo menambahkan, pihaknya sangat menyesalkan sikap Pemkab Fakfak karena janji terkait pembayaran sangat tidak wajar.
Dia menjelaskan, pihak keluarga dari Manokwari ke Fakfak untuk koordinasi dengan Pemkab Fakfak, tetapi tidak ada titik temu. Untuk itulah, kata dia, setelah kembali dari Fakfak, pihak keluarga menyuruh mahasiswa untuk mengosongkan asrama.
“Soal kenapa PT Fulica bisa menyebut itu tanah milik mereka, karena ada orang kedua dan orang ketiga yang mengangkat hasil keringat kami, duluan mengambil hak kami. Tanah ini dijual tanpa sepengetahuan kami keluarga,” katanya.
Rusman menuturkan, sepengetahuan mereka, Pemkab Fakfak telah melakukan pembayaran kepada PT Fulica sekitar Rp. 2 miliar. Pembayaran dilakukan Pemkab Fakfak sebagai pihak pertama kepada PT Fulica sebagai pihak kedua, sekitar 2007 silam.
Pada kesempatan itu, dirinya mengimbau masyarakat Fakfak agar tidak menjadikan isu ini sebagai isu politik dan saling menjatuhkan.
“Ini murni persoalan kemanusiaan, bukan isu politik. Jangan ini dijadikan isu politik di Fakfak. Kami hanya minta pertanggungjawaban dari Pemda Fakfak, bukan dijadikan isu untuk saling menjatuhkan di Fakfak,” harap Rusman.
Menanggapi aspirasi para mahasiwa dan mahasiswi ini, Asintel mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.
Bardan menerangkan, selain melakukan penegakan hukum, sesuai petunjuk Jaksa Agung, pihaknya tidak hanya menindak, tapi akan berusaha memperbaiki sistem yang tak sesuai untuk diberikan saran ke pemda.
Namun, ia menegaskan, jika memang ditemukan indikasi korupsi sesuai yang disampaikan, maka pihaknya berjanji akan menindaknya sesuai peraturan yang berlaku.
“Kami terima aspirasi ini. Saya yakin kita akan tindaklanjuti seserius mungkin, karena memang butuh tindak lanjut dan penyelesaian sesegera mungkin. Aspirasi ini menyentuh hati,” ucap Asintel.
Sebelum membubarkan diri, pengunjuk rasa menyerahkan aspirasinya, sekaligus sejumlah bukti sertifikat maupun pembayaran yang dilakukan Pemkab Fakfak kepada Kejati Papua Barat. [AND-R1]