
Ransiki, TP – Maraknya kegiatan eksploitasi hasil hutan kayu di Wilayah Kabupaten Manokwari Selatan, turut diakui Kepala Kantor Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Wilayah II Manokwari Selatan (Mansel), Kristian Fonataba.
Dikatakan Fonataba, kegiatan eksploitasi hasil hutan kayu di Wilayah Kabupaten Mansel memang masih terjadi, baik oleh Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau juga Perusahaan pemegang Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK).
Ia mengungkapkan, minimnya sumber daya manusia (SDM) yakni Polisi Kehutanan dan tidak adanya sarana-prasarana (Sapras) pendukung seperti kendaraan patroli menjadi kendala terbesar bagi CDK dalam melakukan monitoring atau pamantauan di lapangan, bahkan seringkali pihaknya kecolongan.
“Polhut kita hanya satu personil, tidak ada kendaraan operasional seperti double gardan sesuai medannya, bagimana kita bisa optimal melakukan monitoring di lapangan. Sesekali anggota kami melakukan monitoring di kawasan eksploitasi hutan kayu tetapi memang tidak maksimal,” kata Fonataba kepada para wartawan di kantornya, Selasa (15/3).
Dikatakannya, dari data yang pihaknya kantongi, di Wilayah Kabupaten Mansel hanya terdapat 1 Perusahaan HPH yakni PT. Megapura Mamberamo Bangun dan 1 Perusahaan Industri hasil hutan kayu yakni PT. Longkelai.
Kegiatan eksploitasi hasil hutan kayu di luar dari kedua perusahaan tersebut dilakukan oleh Perusahaan pemegang IPHHK. Kurang lebih terdapat 20-an Perusahaan pemegang IPHHK sebelumnya adanya perubahan aturan. Seiring dengan adanya perubahan aturan kehutanan, sambung dia, kegiatan eksploitasi hasil hutan kayu dengan IPHHK sudah dihentikan atau sudah tidak berlaku lagi.
“Jadi kalau masih ada kegiatan eksploitasi yang dilakukan IPHHK, bisa saja itu pengangkutan stok kayu milik masyarakat yang belum selesai di angkut. Kalau kegiatan penebangan baru sudah kita hentikan, karena IPHHK sudah tidak berlaku,” ujar dia.
Fonataba menambahkan, secara aturan pihaknya sudah sering menyampaikan kepada masyarakat selaku pemilik hak ulayat bahwa IPHHK sudah tidak lagi berlaku. Dengan demikian, penebangan hutan kayu yang dilakukan perusahaan pemegang IPHHK dianggap merupakan kegiatan ilegal logging.
“Peraturan terbaru yang sementara digodok Kementerian LHK adalah Skema Perhutanan Sosial seperti Skema Hutan Adat atau Hutan Desa,” tambahnya.
Lebih lanjut, di utarakan Fonataba, untuk melakukan monitoring akan masih adanya aktivitas Perusahaan pemegang IPHHK dalam eksploitasi hasil hutan kayu, pihaknya pun lemah, lantaran kewenangan untuk pengawasan dan penindakan bukan melekat pada lembaga yang dia pimpin.
Sebaliknya, fungsi pengawasan dan penindakan berada di Kementerian LHK melalui Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC). “Kalaupun kita melakukan monitoring dan menemukan adanya aktivitas ilegal logging maka tugas kita melapor ke Pimpinan dalam hal ini Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat untuk mengambil kebijakan, kalau penindakan dan sanksi wewenang SPORC,” jelas dia.
Meski begitu, supaya kegiatan monitoring berfungsi dengan baik, CDK Wilayah II Mansel akan mengaktifkan kembali fungsi Pos Pantau Kehutanan di Distrik Momiwaren dan Distrik Oransbari, supaya dapat mengendalikan peredaran hasil hutan kayu yang tidak sesuai aturan.
Sebelumnya informasi yang dihimpun Tabura Pos, berdasarkan pengakuan Dominggus Sahertian, Kepala Urusan TUK PT. Megapura Mambramo Bangun, mengungkapkan bahwa kegiatan ilegal logging masih terjadi di kawasan HPH Distrik Tahota.
Menurut dia, sebagai Perusahaan industri hasil hutan, eksploitasi hutan kayu oleh PT. Megapura Mambramo Bangun selama ini sudah berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan.
Hanya saja, yang menjadi kendala besar bagi pihaknya adalah karena adanya kegiatan ilegal logging atau pembalakan liar yang dilakukan kelompok orang atau Perusahaan yang tidak diketahui identitasnya.
Sayangnya, ungkap Sahertian, kegiatan pembalakan liar tersebut atas persetujuan masyarakat selaku pemilik hak ulayat atas hutan. “Kita tidak bisa berbuat apa-apa karena aktivitas pembalakan liar yang terjadi atas izin masyarakat selaku pemilik hak ulayat atas hutan,” kata Sahertian kepada para wartawan di Tahota, Kamis (10/3).
Dia pun menyesalkan, karena pembalakan liar yang terjadi mengakibatkan ruas jalan yang dibuka untuk mendukung kegiatan eksploitasi dari PT. Megapura Mambramo Bangun selaku Hak Kepemilikan Hutan (HPH) justru rusak dan semakin parah karena keluar masuk kendaraan ilegal logging yang juga menggunakan jalur milik Perusahaan.
Sahertian mengungkapkan, pihaknya pernah memasang palang untuk menghentikan kegiatan pembalakan liar yang menggunakan ruas jalur milik Perusahaan, tetapi para pihak yang melakukan ilegal logging justru merusak alat berat milik Perusahaan yang digunakan untuk menutup akses jalan.
Disamping itu, pihak Perusahaan juga sudah memasang tanda larangan terhadap kegiatan ilegal logging di kawasan hutan lindung untuk melindungi hutan lindung. Seperti, stop membakar hutan, dilarang melakukan pemburuan terhadap satwa liar yang dilarang Negara, tetapi justru pihak Perusahaan dibenturkan dengan masyarakat pemilik hak ulayat atas hutan.
“Mereka jadikan masyarakat sebagai tameng untuk melakukan pembalakan kayu atau ilegal logging,” ujar dia.
Dirinya berharap, kegiatan pembalakan liar yang terjadi di kawasan hutan lindung, Wilayah Distrik Tahota hingga ke Distrik Dataran Isim, bisa segera ditindak tegas oleh pihak berwenang, supaya tidak menambah parah kerusakan hutan. [BOM-R3]