
“teman-teman DPRPB Diminta jelih lihat Raperdasi ini”
Manokwari, TP – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat melalui Dinas Pendidikan Papua Barat dan Biro Hukum, Setda Papua Barat telah menyusun draft Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) tentang Pendidikan di Papua Barat.
Rencananya, kalau sudah ada harmonisasi dan sinkrosisasi diantara kedua lembaga tersebut, barulah diserahkan ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPR Papua Barat untuk dibahas lebih lanjut guna disahkandan ditetapkan.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Sastra Universitas Papua (Unipa), Yusuf W. Sawaki mengatakan, yang terpenting dalam penyusunan draft raperdasi pendidikan harus mempunyai grand design terkait pendidikan 20 tahun kedepan dimasa Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Disamping itu, kata Sawaki, dalam draft raperdasi juga harus disusun berdasarkan data terkait kependidikan di Papua Barat. Baginya, tidak bisa kalau pemerintah membangun draft diawan – awan, harus berdasarkan data pendidikan yang nantinya diterjemahkan ke dalam pasal per – pasal seperti apa.
“Bagi saya yang terpenting yaitu, draft ini atau pendidikan di Papua Barat harus mempunyai grand design tentang pendidikan 20 tahun dimasa Otsus ini seperti apa, harus punya itu dulu barulah bisa,” kata Sawaki kepada Tabura Pos di kediamannya, Sabtu (9/4/2022).
Dicontohkan Sawaki, banyak pihaknya menyampaikan bahwa, Papua Barat kekurangan guru, sebenarnya tidak. Ada banyak guru di Papua Barat hanya saja distribusinya yang tidak merata.
Menurutnya, yang kurang adalah guru per – bidang studi misalnya, di Manokwari ini ada banyak penumpukan guru sementara di Manokwari Selatan (Mansel) masih kekurangan tenaga guru.
“Kalau hitung rasio guru dan sisiwa diseluruh Papua Barat misalnya rasio guru sekolah dasar sangatlah baik. Hanya saja, distribusi per kabupaten dan kota yang belum tepat merata dan guru perbidang studi inilah yang menjadi persoalan terbesar di Papua Barat. Nah, hal inilah yang nantinya diterjemahkan ke dalam Raperdasi pendidikan sehingga dapat disiasati seperti apa dan lainnya,” terang Sawaki.
Disinggung terkait darft Raperdasi Pendidikan hanya mengatur sebatas intervensi, bersinergis koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten kota dalam hal pendidikan, bagi Sawaki, hal itu tidak cukup kalau raperdasi dimaksud hanya mengatur sebatas koordinasi.
Dikatakan Sawaki, Undang – undang desentralisasi masih berjalan dan ada kewenangan – kewenangan yang tidak bisa diambil. Intervensi ini seperti apa? intervensi pendidikan secara keseluruhan atau intervensi untuk orang asli Papua saja, ini juga harus jelas.
Misalnya, kata dia, kalau provinsi mau intervensi pendidikan secara keseluruhan pastinya pemerintah kabupaten kota tolak, karena menggunakan undang – undang yang lain mengatur wilayahnya.
Untuk itu, dirinya berharap, teman – teman DPR Papua Barat dapat dengan jelih melihat draft raperdasi ini dan tidak perlu cepat – cepat untuk menetapkan raperdasi ini.
Diakuinya, memang dalam tahapan – tahapannya pasti akan ada revisi 2 tahun dan di tahun – tahun berikut. Tetapi, jangan mengharapkan itu, kalau dari awal bisa bagus kenapa harus tunggu 2 tahun rubah – 2 tahun revisi, terkecuali hal – hal yang khusus dan mendadak dan diburuhkan itu barulah dilakukan revisi.
“Bagi saya raperdasi ini harus berkualitas dari awal harus dibaut sehingga berkualitas langsung,” ujar Kakak Ucu sapaan akrap Yusup Sawaki.
Disinggung kembali terkait grand design pendidikan, jelas Sawaki, grand design pendidikan adalah visi pendidikan Papua Barat. Misalnya, dimasa Otsus ini grand design pendidikan di tahun 2041 seperti apa, visi dan misinya harus jelas dan dapat diukur, barulah dibuat konsep pendidikan, skenario pendidikan, strategis pengembangan pendidikan dan sebagainya semuanya mengarah pada visi tersebut.
Ditegaskan Sawaki, tidak boleh pendidikan diatur oleh politik yang setiap 5 tahun orang ganti kepala daerah, ganti kebijakan, pendidikan tidak boleh seperti itu tetapi semua harus mengarah dan bermuara pada visi atau grand design pendidikan di tahun 2041 itu, siapapun dia, baik gubernur, bupati maupun walikota.
“Saya sering bicara berulang kali bahwa, konsisten dan komitmen itu penting. Dalam berbagai kesempatan kalau saya dilibatkan sebagai staf ahli di pemerintah saya sampaikan bahwa kita ini masih tergantung dengan tujuan politik jangka pendek, kalau gubernur atau bupati naik mereka maunya pendidikan begini, kalau ganti pejabat lain mereka maunya pendidikan begitu dan seterusnya. Nah, bagimana kita mau mengukur keberhasilan pendidikan di tahun 2041 mendatang,” terang Sawaki.
Dikatakan Sawaki, dirinya belum melihat draft raperdasi tentang pendidikan tersebut tetapi pastinya regulasi itu akan mengatur pendidikan secara keseluruhan tetapi tidak membahas secara khusus tentang pendidikan Orang Asli Papua (OAP).
Regulasi, kata dia, untuk pendidikan OAP harus dibuat dalam bentuk Raperdasus. Harus dipisahkan, kebijakan pendidikan secara umum lain dan kebijakan pendidikan khusus bagi OAP dalam bentuk raperdasus. Atau dapat dibuat dalam 1 perdasus tetapi dibagi dalam dua bagian besar diantaranya, kebijakan pendidikan umum dan kebijakan pendidikan khusus bagi OAP.
Sehingga, lanjut dia, di 20 tahun yang akan datang banyak OAP yang berhasil menjadi dokter, guru, dosen, profesor, alat ukur pendidikan itu digelar dan lainnya.
Menurut Sawaki, dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) membutuhkan data pendidikan untuk melihat apa yang menjadi kebutuhkan daerah. Seperti, skenario luar negeri yakni dari cuci piring sampai presiden itu pekerjaan dan kurang lebih ada 1.500 pekerjaan.
“Kalau Papua memakai skenario itu, misalnya kita bisa kasih makan orang karena membuka warung kecil sampai ke gubernur merupakan pekerjaan yang harus bisa dikerjaan oleh orang Papua, maka dapat dibagikan dengan jumlah OAP yang produksi, berapa besar OAP yang bekerja di 1 bidang pekerjaan. Kalau kita tidak cukup secara jumlah dan regenerasi atau penjenjangan, maka tidak perlu kita merebut semua tetapi fokuslah diteman – teman tertentu barulah pendidikan mengarahkan orang kesitu agar dia lebih berguna dari pada kita hambur kiri kanan tetapi kita tidak bisa ukur hasil akhirnya seperti apa,” ujar Sawaki.
“Misalnya, di LNG BP Tangguh sampai hari ini tidak ada OAP yang duduk dilevel menejer keatas, maka sudahlah sekolahkan anak – anak Papua dan masukan mereka disini dan dapat diukur tahun sekian di BP Tangguh sekian Papua sudah sekian menejer sampai keasat. Kita hanya ukur orang di PNS, PNS dan PNS kita tidak bisa mengukur di tempat lain lagi. saya pikir itu hal – hal teknis yang harus masuk di Raperdasi atau Raperdasus ini. jadi visi, kita bagimana cara mengukurnya, sesuai dengan kebutuhan daerah atau tidak dan seterusnya,” tandas Sawaki. [FSM-R4]