Manokwari, TP – Harga jual beras masih menjadi kendala bagi petani di Manokwari. Para petani di Warmare, Prafi, Masni, dan Sidey (Warpramasi), enggan menjual dengan harga murah atau harga eceran tertinggi (HET).
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manokwari, Kukuh Saptoyudo mengakui, beras hasil petani lokal di Warpramasi jarang dijual di pasaran. Sebab, petani menilai harga eceran tertinggi (HET) merugikan mereka.
Dijelaskan Kukuh, beras hasil petani lokal lebih banyak dijual petani kepada kelompok tambang, karena dibeli dengan harga di atas HET dan harga yang dibeli oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manokwari.
“HET beras Rp 12.000 sementara di sini pemerintah beli untuk beras jatah ASN dengan harga Rp 14.000. Tapi, orang tambang beli dengan harga Rp 16.000. Jadi, banyak yang jual ke orang tambang,” jelas Kukuh kepada wartawan di Kantor DPRK Manokwari, belum lama ini.
Begitu juga dengan jagung, kata Kukuh, petani jagung di Warpramasi lebih suka menjualnya kepada kelompok tambang, karena harganya di atas HET.
“HET Jagung tidak sampai Rp 4.500 sementara di Manokwari terendam Rp 6.000, makanya petani jual ke orang tambang karena harganya lebih dari Rp 6.000,” pungkasnya.
Di tempat yang berbeda, Kepala Perum Bulog Manokwari, Sheika Irawaty mengatakan, bila belum ada petunjuk dari pusat bahwa Bulog Manokwari akan menampung atau membeli jagung hasil petani Manokwari.
“Belum ada laporan ke kita di Manokwari, apakah kita siap menampungnya atau tidak,” jelas Irawaty kepada wartawan di kantornya, akhir pekan kemarin.
Irawaty mengungkapkan, perlu perencanaan matang bila Bulog ingin menampung jagung hasil petani lokal di Manokwari. Sebab, di Bulog tidak hanya sebatas menampung tetapi juga penyalurannya atau pasarannya.
“Barang itu (Jagung red) tidak hanya Bulog menyimpan saja, tetapi penyalurannya juga, sasarannya kemana. Memang di daerah lain ada penugasan, tetapi kalau kami di Manokwari belum ada penugasan,” pungkasnya.
Berbeda dengan jagung, ungkap Irawarty, untuk gabah dan padi ada penugasan bagi Bulog. Tetapi yang menjadi pertanyaannya apakah petani mau menjual gabah dan padinya sesuai HET.
“HET gabah dulu Rp 5.000 sekarang Rp 6.500. Makanya kami diminta serap any quality. Jadi, tidak boleh ada daerah yang petaninya mengeluh gabahnya terlantar, harus dibeli oleh pemerintah,” jelasnya.
Di Manokwari, tambah Irawaty, petani lebih memilih menjual sudah dalam bentuk beras, karena mungkin harganya lebih menguntungkan.
“Harga beras yang dibeli Bulog itu Rp 12.000 per Kg, tapi di Manokwari beras di tampung BumDes dengan harga Rp 12.850 per Kg. Berarti harganya di atas HET dari pembelian Bulog,” terangnya.
Dengan mekanisme pembelian itu, sambung Irawarty, penjualan beras petani lokal lebih kepada BumDes, karena harganya di atas HET nasional.
“Tapi saya dapat informasi petani di sini lebih memilih jual ke orang tambang karena harganya sekitar Rp 16.000 per Kg,” pungkasnya. [SDR-R4]