Sorong, TP – Polemik aktivitas pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Raja Ampat masih terus menjadi perhatian publik.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan (DLHKP) Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, menegaskan pentingnya duduk bersama semua pihak untuk membahas legalitas dan kelayakan aktivitas tambang yang telah berjalan di wilayah konservasi tersebut.
Julian menyampaikan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya tidak boleh menjadi lokasi aktivitas pertambangan.
“Artinya secara hukum, di Raja Ampat tidak boleh ada tambang. Namun proses perizinan dua perusahaan tambang yang beroperasi di sana terjadi sebelum pemekaran provinsi Papua Barat Daya,” jelas Julian dalam keterangannya kepada wartawan di lingkungan Hotel ACC, Senin (16/6/2025).
DLHKP Papua Barat Daya berharap bahwa dua perusahaan tambang yang kini beroperasi di Raja Ampat memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sah, telah dikaji secara mendalam, serta telah mendapat persetujuan lingkungan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Julian menegaskan bahwa izin AMDAL tersebut harus dievaluasi secara menyeluruh. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021.
“Jika dari kajian AMDAL ditemukan adanya pencemaran, maka pemerintah wajib memberikan teguran administratif, bahkan bisa sampai penghentian kegiatan atau pencabutan izin,” ujarnya.
Lebih lanjut, Julian menyoroti pentingnya indikator pencemaran sebagai dasar penilaian. “Sekarang yang dikatakan tercemar itu apa? Apakah air lautnya, terumbu karangnya, atau kualitas udaranya? Semua itu bisa diukur melalui indikator pencemaran yang objektif,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa perusahaan yang telah mengantongi izin lingkungan wajib membuat laporan berkala setiap enam bulan, berupa Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Laporan ini menjadi tolok ukur sejauh mana perusahaan menjalankan kewajiban yang telah disepakati dalam dokumen AMDAL.
DLHKP saat ini tengah melakukan koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan evaluasi ulang terhadap dokumen AMDAL yang ada.
Julian menyatakan bahwa proses penyusunan AMDAL seharusnya dimulai dari konsultasi publik yang melibatkan masyarakat, khususnya yang berada di wilayah terdampak (ring 1, 2, dan 3).
“Kami tidak alergi terhadap kritik. Namun sampai hari ini, kami belum menerima laporan tertulis mengenai pencemaran lingkungan di Raja Ampat. Informasi yang kami peroleh masih bersumber dari media sosial,” jelas Julian.
Ia mendorong agar ke depan ada audit lingkungan yang dilakukan oleh auditor independen berlisensi untuk memastikan kebenaran di lapangan.
Sebagai langkah ke depan, Julian mengusulkan pertemuan multipihak antara kementerian, pemerintah daerah, DPR RI, DPRD, dan masyarakat adat untuk membahas secara menyeluruh polemik tambang ini.
“Jangan biarkan masyarakat terus bingung. Kita ingin pembangunan tetap berjalan, tapi lingkungan juga harus dijaga. Kita membangun dengan hati, menyatukan dalam kasih,” pungkasnya.
Dengan demikian, DLHKP Papua Barat Daya menegaskan komitmennya untuk menjaga kelestarian lingkungan Raja Ampat, sembari mendorong kebijakan pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil kini menjadi sorotan utama, demi masa depan generasi mendatang.[MPS]