Manokwari, TP – Masyarakat Adat Marga Ateta menolak tegas kehadiran PT. BSP (Borneo Subur Prima) di wilayah adat Marga Ateta yang berlokasi di Kampung Agoda, Distrik Sumur, Kabupaten Teluk Bintuni.
Hal ini ditegaskan, Ketua Marga Besa Ateta, Benidiktus Ateta melalui Kuasa Hukumnya,
Musa Mambrasar, SH yang ditemui Tabura Pos di Amban, Kamis (3/7/2025).
Pasalnya, Perjanjian kerjasama penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk Perkebunan Kelapa Sawit diduga dilakukan sepihak tanpa melibatkan Ketua Marga Besar Ateta, Benidiktus Ateta.
“Kami menolak kehadiran PT. BSP untuk melakukan aktivitas Perkebunan kepala sawit di wilayah adat kami, khususnya Marga Ateta,” tegas Mambrasar.
Mambrasar yang juga Koordinator KontraS Tanah Papua mengatakan, usai menerima pengaduan dari Ketua Marga Besar Ateta, dirinya bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Panah Papua telah turun melakukan investigasi lapangan.
Dari hasil mengumpulan bukti-bukti berupa dokumen perjanjian kerjasama penggunaan lahan, kata dia, perjanjian kerjasama penggunaan lahan tidak melihatkan Ketua Marga Besar Ateta.
Menurutnya, perjanjian kerjasama tersebut tidak sah, karena tidak melibatkan pihak yang berwenang atas lahan tersebut dalam hal ini Ketua Marga Besar Ateta.
“Bagi kami, jika oknum yang tidak memiliki wewenang mewakili masyarakat, maka perjanjian itu cacat hukum dan bisa dibatalkan. Karena tidak memenuhi syarat sebab melanggar hak-hak masyarat adat yang dikuasai secara turun temurun,” terang Mambrasar.
Sebab, lanjut dia, perjanjian penggunaan lahan harus memenuhi syarat sah sesuai Pasal 1320 KUHPerdata bahwa, Kesepakatan harus dilakukan kedua belah pihak, baik pihak perusahan dan pihak yang berhak atas tanah harus sepakat atas isi perjanjian.
Kemudian, kecakapan yakni, apra pihak harus cakap hukum atau mampu membuat perjanjian, Lalu, Objek, perjanjian harus jelas mengani objek yang diperjanjikan dalam hal ini tanah dan terakhir sebab yang halal yakni, perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum atau norma kesusilaan.
“PT BSP telah memanfaatkan dua orang dari angota keluarga marga Ateta untuk meloloskan kepentingan aktifitas Perkebunan kelapa sawit di atas wilayah adat Marga Ateta,” ujar Mambrasar.
Lebih lanjut, kata Mambrasar, dirinya melakukan investigas terhadap proses hukum. Sedangkan, Panah Papua mengumpulkan data terhadap flora dan fauna, hutan keramat, lahan gambut yang berada di wilayah adat Marga Ateta selama 1 minggu.
Disinggung terkait langkah konkrit yang telah dilakukan KontraS Tanah Papua dan Panah Papua, terang Mambrasar, pihaknya telah mendokumentasikan bukti-bukti di lapangan dan menfasilitasi pertemuan antara Ketua Marga Besar Ateta bersama Bupati Teluk Bintuni.
“Kita sudah bertemu bupati Teluk Bintuni, saat ini masyarakat adat Marga Ateta telah menyampaikan aspirasi mereka kepada Bupati Teluk Bintuni,” ujarnya seraya menambahkan, pihaknya telah mendampingi Ketua Marga Besar Ateta untuk membuat laporan polisi di Polres Teluk Bintuni terhadap 2 oknum anggota keluarga Ateta yang diduga bekerja sama dengan PT BSP, Kamis (26/6/2025).
Ditambahkan Mambrasar, kedepan pihaknya akan membuat laporan polisi juga terhadap pihak PT BSP, sebab belum ada perjanjian kerjasama yang sah dan belum diterbitkan izin Analisis Dampak Lingkungan (Andal) tetapi juga ada pra aktifitas perkebunan di wilayah adat Marga Ateta.
Terlepas dari tidak adanya perjanjian yang sah dan tidak ada izin Andal. Pihak PT BSP juga belum menyelesaikan persoalan ini artinya, masyarakat pemilik hak ulayat menolak. Namun, pihak PT BSP memaksakan untuk melakukan aktifitas Perkebunan.
“Kami akan tetap mengawal masyarakat Marga Ateta untuk selesaikan persoalan ini. Sebab, yang kami takutkan, perusahan menghalalkan secara untuk memuluskan kepentingannya,” tandas Mambrasar. [FSM-R5]



















