
Manokwari, TP – Gugatan oleh sejumlah warga yang mengaku pemilik tanah lokasi Tempat Pemakaman Umum (TPU) Anday, Distrik Manokwari Selatan kepada pemerintah, Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari dibenarkan kuasa hukum para penggugat, Leumes P. Wondiwoy, SH.
Wondiwoy mengatakan, saat ini perkara tengah dalam proses di pengadilan negeri Manokwari, dengan latar belakang yang mendorong para penggugatnya yang notabene sebagai ahli waris karena merasa tidak dilibatkan saat pengalihan hak atas tanah dimaksud.
Wondiwoy menjelaskan, lokasi TPU Anday yang menjadi sengketa merupakan harta warisan yang ditinggal nenek moyang para penggugat kepada mereka, yang secara adat tidak boleh diperjualbelikan kepada siapapun. Sebab tanah adat tersebut memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan sangat mengikat.
Lanjut, Wondiwoy, dalam keseharian, para penggugat menikmati kehidupan di atas tanah leluhurnya sendiri yang menjadi sengketa untuk berkebun dan bertani, yang mana, hasil kebun dan bertani dijual dan hasilnya untuk membelanjakan barang-barang konsumtif setiap hari serta biaya pendidikan anak-anak mereka.
Namun, lanjut Wondiwoy, dengan adanya TPU tersebut, para penggugat sudah secara tidak leluasa dan bebas menggunakan tanah adat untuk bertani dan berkebun.
“Yang sangat disesalkan adalah proses pengalihan hak atas tanah tanpa sepengetahuan dan melibatkan para penggugat. Salah satu mekanisme adalah melakukan pertemuan musyawarah agar pemerintah menyampaikan maksud dengan mengundang para penggugat. Dengan demikian, pengalihan sepihak telah melanggar eksistensi hukum adat atas tanah tersebut,” jelaw Wondiwoy kepada Tabura Pos via teleponnya, Selasa (14/6).
Lanjut Wondiwoy menjelaskan, para tergugat juga telah melakukan pensertifikatan atas tanah milik masyarakat adat atau tanah warisan dari para leluhur penggugat tanpa sepengetahuan penggugat.
“Karena pensertifikatan atas tanah milik masyarakat adat tanpa sepengetahuan para penggugat merupakan perbuatan melawan hukum, maka sertifikat atas tanah tersebut patut dibatalkan demi hukum. Vox Populi Vox Dey atau suara rakyat adalah suara Tuhan,” jelas Wondiwoy.
Wondiwoy menambahkan, akibat perbuatan pengalihan hak tanah adat dan pensertifikatan tanah adat yang tanpa sepengetahuan para penggugat, menyebabkan, mereka dan kaum keluarganya kehilangan mata pencaharian bertani dan berkebun sebagai sumber kehidupan mereka dan menimbulkan kerugian materil sekitar Rp 67 miliar.
“Menurut filosofi hak atas adat orang asli Papua menyatakan bahwa surat pelepasan hak atas tanah adat yang dikeluarkan tidak sesuai atau sepihak maka sertifikat kau punya hak atas tanah adat tetap milik kami sampai kapanpun,” tegasnya.
Oleh karenanya itu, selaku kuasa hukum, Ia meminta dalam gugatannya agar sertifikat tanah atas pengalihan tanah adat tersebut dibatalkan demi hukum. [SDR-R3]