Manokwari, TP – Majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari melanjutkan sidang dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) peningkatan jalan Mogoy-Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, Rabu (13/8/2025), dengan agenda pembacaan pembelaan atau pledoi.
Majelis hakim yang dipimpin, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH memberi kesempatan terhadap kelima terdakwa dan penasehat hukumnya untuk menyampaikan pledoi, disaksikan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Agung Satriadi Putra, SH, MH.
Pledoi diawali dari penasehat hukum terdakwa, Najamuddin Bennu selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, yakni Pieter Wellikin, SH dan Paulus S.R. Renyaan, SH.
Dalam pembelaan, penasehat hukum Najamuddin Bennu, mengatakan, proses penyidikan perkara terdakwa Najamuddin Bennu bertentangan dengan Pasal 86 UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Sebab, pekerjaan peningkatan jalan Mogoy-Merdey belum dilakukan serah terima dari penyedia jasa CV Gloria Bintang Timur ke Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, sehingga penyidikan oleh penyidik Kejati Papua Barat bertentangan dengan Pasal 86 UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Menurut ahli, Willem Gazperz, suatu pekerjaan yang belum dilakukan serah terima pekerjaan dari penyedia jasa ke pengguna yang FHO, yang dihubungkan dengan Pasal 86 UU No. 2 Tahun 2017, maka tidak dapat dilakukan penyidikan dan keterangan ini bersesuaian dengan keterangan ahli, Prof. Dr. Eng Ir, Arsyad, M.Eng.Sc yang menegaskan bahwa selama suatu pekerjaan belum dilakukan serah terima dari penyedia jasa kepada pengguna jasa, tidak dapat dilakukan penyidikan.
Lanjut penasehat hukum, dalam perkara ini, tidak ditemukan adanya kerugian keuangan negara melainkan ditemukan adanya penurunan mutu dan denda keterlambatan pekerjaan sebagaimana hasil pemeriksaan fisik oleh Inspektorat Provinsi Papua Barat adalah sanksi administrasi yang telah dibayarkan CV Gloria Bintang Timur, sehingga tidak dapat dikualifikasikan sebagai kerugian keuangan negara.
Di samping itu, terdapat hasil perhitungan kerugian keuangan negara yang berbeda antara perhitungan ahli konstruksi menghitung nilai pekerjaan peningkatan jalan Mogoy-Merdey berdasarkan jumlah volume realisasi fisik terpasang atau spesifikasi kontrak oleh ahli fisik, sebaliknya perhitungan ahli BPKP Papua Barat dimana dalam perhitungan BPKP Papua Barat, ahli BPKP, Loka Saputra dalam keterangannya di persidangan, menggunakan dokumen hanya dari ahli jasa konstruksi, Willem Gazperz, maka seharusnya data mengenai jumlah volume realisasi fisik terpasang atau spesifikasi kontrak oleh ahli fisik adalah senilai Rp. 4.605.891.705,46 (dengan pajak).
Namun, dalam perhitungan ahli BPKP, Loka Saputra jumlah volume realisasi fisik terpasang atau spesifikasi kontrak oleh ahli fisik yang dihitung hanya Rp. 232.466.971,59. “Sehingga terhadap perbedaan perhitungan pada jumlah volume realisasi fisik terpasang atau spesifikasi kontrak oleh ahli fisik tersebut, maka menimbulkan ketidakpastian dalam perhitungan kerugian keuangan negara dan menurut ahli, Dr. Eng. Ir. Ardy Arsyad, M.Eng.Sc, perhitungan tersebut harus ditolak,” katanya.
Untuk itulah, terdakwa, Najamudin Bennu melalui penasehat hukumnya, memohon majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, sebelum menjatuhkan putusan agar mengesampingkan tuntutan penuntut umum Nomor Reg Perkara: Reg: PDS-03/R.2.13/Ft.1/03/2025 tertanggal 11 Agustus 2025, karena terbukti penuntut umum tidak dapat membuktikan surat dakwaannya.
Menurut Paulus Renyaan, Najamuddin Bennu tidak terbukti melanggar dakwaan kesatu primair, Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 dan dakwaan kedua, Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
“Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan kesatu primair dan dakwaan kedua subsidair, melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, serta memulihkan harkat dan kedudukan serta martabat terdakwa Najamuddin Bennu dalam perkara ini,” pintanya.
Sementara itu, penasehat hukum terdakwa, Daud (Direktur PT Pola Sarana Dimensi) dan Adi Kalalembang (Inspektor Engineer PT Pola Sarana Dimensi), Patrix B. Tandirerung, SH mengungkapkan, kesimpulan BPKP Papua Barat sebagaimana dinyatakan Loka Saputra, auditor, dan ahli dari BPKP Papua Barat, terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan penyedia jasa yang tidak memiliki kompetensi dalam pelaksanaan konstruksi dalam pelaksanaan konstruksi dan lemahnya pengawasan dari PPK atas paket pekerjaan peningkatan jalan Mogoy-Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni. “Sehingga mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara senilai Rp. 7.326.372.972,38,” ungkap Tandiderung.
Ia menambahkan, jika merujuk pada keterangan ahli, Loka Saputra bahwa pihaknya merujuk pada hasil perhitungan ahli konstruksi, Willem Gasperz, ST, MT, maka dapat dipastikan bahwa perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan BPKP Papua Barat memiliki masalah pada materialitas auditnya.
“Sebab, pada data dan informasi yang dirujuk terdapat kesalahan yang fatal dalam perhitungan volume pekerjaan. Dalam penghitungan ahli, volume pekerjaan perkerasan beton semen dan anyaman tunggal sebesar 549,93 dikali harga satuan Rp. 5.694.507,82 dimana ahli menyimpulkan hasil perkalian tersebut sebesar Rp. 1.043.865.922,99, sehingga menghasilkan selisih perhitungan yang sangat besar yakni Rp. 4.894.949.670,71. Demikian halnya kesimpulan terhadap progress objek penghitungan tersebut hanya 13,58 persen. Hal tersebut secara kumulatif berdampak pada menurunnya persentase hasil perhitungan ahli menjadi hanya sebesar 29,50 persen,” tambahnya.
Diutarakannya, auditor juga tidak melakukan konfirmasi secara langsung kepada calon tersangka, Daud dan Adi Kalalembang mengenai kebenaran laporan yang disampaikan konsultan untuk dibandingkan dengan realisasi pekerjaan di lapangan.
“Ahli juga tidak melakukan pengecekan secara langsung ke objek pekerjaan untuk menguji akurasi penghitungan ahli yang dirujuk, sementara kerugian keuangan negara dalam perkara a quo harusnya bersifat pasti,” tandas Tandirerung.
Dirincikannya, pendapatan PT Pola Sarana Dimensi, dalam hal ini Daud selaku direkturnya, dari jasa pengawasan dan konsultasi yang dilakukan terhadap paket pengawasan teknis peningkatan jalan Mogoy-Merdey sebesar Rp. 290.223.000 merupakan pendapatan yang sah, didasarkan pada pemenuhan prestasi atas kontrak tertanggal 25 Agustus 2023.
“Pendapatan sebagaimana dimaksud bukan objek kerugian keuangan negara dalam perkara a quo atau pendapatan yang tidak sah dengan perolehan secara melawan hukum,” tegasnya.
Dengan pembelaan yang disampaikan tersebut, maka penasehat hukum terdakwa Daud dan Adi Kalalembang menyatakan, kedua kliennya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primair maupun subsidair.
“Membebaskan terdakwa Daud oleh karena itu dari dakwaan primair maupun subsidair atau menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan subsidair akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana,” pinta Tandirerung.
Oleh sebab itu, dirinya memohon majelis hakim memerintahkan agar terdakwa dikembalikan dalam keadaan semula sebagai orang yang bebas dan menurut hukum segala sesuatunya, baik hak dan kewajibannya, kembali seperti semula.
Terdakwa, Beatrick S.A. Baransano dalam pembelaannya, menegaskan, tidak ada niat jahat dari hati (mens rea) sama sekali yang terbangun dalam sanubari dan terbesit di benaknya secara sadar, mendorong untuk bersepakat dengan Najamuddin Bennu dan Naomi Kararbo, seperti yang didakwakan kepadanya selaku Kepala Sub Bagian Keuangan atau Pejabat Penatausahaan Keuangan Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, memproses pembayaran pekerjaan 100 persen sesuai nilai kontrak.
“Saya semata-mata melakukan pekerjaan sesuai tugas pokok dan fungsi saya, berdasarkan standar operasional prosedur yang baku, mematuhi arahan atasan yang adalah saksi Najamuddin Bennu, KPA merangkap PPK, baik lisan pun tersurat dan tersirat dalam SPTJM – SPP-LS & SPM-LS,” bebernya.
Lanjutnya, menunaikan perintah jabatannya atas dasar surat keputusan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor: SK.821.2-54 tanggal 8 Januari 2020 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Jabatan Administrator dan Jabatan Pengawas pada Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, dengan landasan keyakinan yang merujuk pada Pasal 51 Ayat 1 KUHP bahwa barang siapa yang melakukan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
“Saya memang tidak tahu kalau pekerjaan dimaksud baru mencapai prestasi fisik 51,11 persen, karena saya tidak pernah melihat atau memantau langsung ke lapangan terhadap kemajuan fisik pekerjaan itu,” tegas Beatrick Baransano.
Menurutnya, pihak yang lebih mengetahui dan bertanggung jawab atas kemajuan pekerjaan di lapangan, yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bersama Korwaslap dan Direksi Lapangan Bidang Bina Marga dibantu Admin Bidang, telah mengemas dan menuangkan data proyek dalam laporan administratif tentang kemajuan pekerjaan untuk mendukung proses permintaan pembayaran pekerjaan itu dan mengajukannya ke Sub Bag Keuangan. “Entah rekayasa atau tidak, bukan domain saja,” tukasnya.
Dia juga menilai dalil ‘ikut serta’ yang dikenakan terhadapnya berlebihan, karena apa yang dilakukan adalah menjalankan tupoksinya. “Sementara ada oknum lain di Bidang Bina Marga Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, yaitu: Korwaslap, Idrus Wasaraka, ST dan direksi lapangannya, Buyung yang mengetahui fakta teknis kemajuan pekerjaan lapangan dan melaporkannya untuk diinventarisir Admin Bidang, tidak dijadikan tersangka dan terdakwa. Mereka dua-lah yang aktif berinteraksi langsung dengan PPK dalam mempersiapkan laporan prestasi fisik lapangan, melengkapi dokumen administratif pendukung, permintaan pembayaran 100 persen yang diserahkan ke Sub Bagian Keuangan untuk diproses sesuai ketentuan yang baku. Tentang pengajuan permintaan pembayaran 100 persen pekerjaan jalan Mogoy-Merdey, berdasarkan prosedur dan kewenangan, sepenuhnya ada dalam kendali KPA yang juga merangkap PPK,” tegasnya.
Beatrick Baransano memohon dengan kerendahan hati dan hormat dalam kesiksaan yang ditimpakan atasnya, maka dia memohon majelis hakim yang mulia, berintegritas akan mempertimbangkan yang arif dan bijaksana untuk menegakkan keadilan dan kebenaran agar mengabaikan dakwaan ini dan membebaskannya demi hukum.
Ditambahkannya, meski dakwaan ini sangat menyakitkan dan merusak citra serta marwah dirinya dan keluarga, menghancurkan reputasi sebagai ASN yang ikhlas dan tulus selama lebih 14 tahun mengabdi untuk masyarakat, Pemprov Papua Barat, Pemerintah RI, bangsa dan negara juga citra dan harga diri serta HAM-nya sebagai salah satu perempuan asli Papua yang mengabdi di atas tanah Papua, dalam bingkai NKRI.
“Namun saya tetap berdoa kepada Tuhan yang saya sembah, Yesus Kristus, untuk mengampuni siapapun yang sudah menzolimi saya dan merampas hak azasi anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada saya yakni kebebasan hidup saya dan lainnya, yang sangat saya junjung sepanjang hidup ini,” urai Beatrick Baransano.
Sedangkan terdakwa, Naomi Kararbo mengatakan, tidak benar tuntutan JPU yang menyatakan dirinya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Sebab, ungkap Naomi Kararbo, pada Desember 2023, dirinya mengundurkan diri dari uraian tugas Bendahara Gaji dan Bendahara Pengeluaran karena sakit, sehingga pada 2024, dia mengambil cuti untuk pengobatan medis.
Dijelaskannya, dalam proses pencairan dokumen pekerjaan peningkatan jalan Mogoy-Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni adalah pekerjaan fisik, yang mana semua dokumen, tagihan diusulkan pihak ketiga kepada pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), bidang dan dibantu Admin Bidang Mina Marga.
“Admin Bidang Bina Marga membantu dan bertanggung jawab kepada PPK dan PPTK untuk menyiapkan dan melengkapi dokumen tagihan sesuai dengan cek list kelengkapan dokumen bidang yang ditandatangani PPK dan Admin Bidang Bina Marga,” jelas Naomi Kararbo.
Lanjutnya, setelah dokumen tagihan lengkap, Admin Bidang Bina Marga menyerahkan berkas tagihan ke Kasubag Keuangan untuk mengetahui, lalu Kasubag Keuangan menyerahkan ke Bendahara Pengeluaran.
Diutarakan Naomi Kararbo, Bendahara Pengeluaran mengecek kembali berkas tagihan sesuai cek list kelengkapan dokumen, yang menjadi dasar penerbitan surat permintaan pembayaran (SPP), yaitu: kontrak, berita acara kemajuan pekerjaan yang sudah ditandatangani PPK, PPTK, dan pihak ketiga, dan nota pencairan dana (NPD) yang ditandatangani Pengguna Anggaran (PA) dan PPTK.
“Berdasarkan tiga dokumen tersebut di atas, Bendahara menerbitkan surat permintaan pembayaran (SPP), SPP diverifikasi oleh Kasubag Keuangan, selanjutnya Kasubag Keuangan menerbitkan surat perintah membayar (SPM) oleh Kasubag Keuangan dan ditandatangani KPA, dan berkas tagihan dilanjutkan ke BPKAD untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana (SP2D) oleh BPKAD,” paparnya.
Sebagai Bendahara Pengeluaran, tegas Naomi Kararbo, dia merasa telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik dan benar. Dalam pekerjaan peningkatan jalan Mogoy-Merdey, dirinya tidak mempunyai niat jahat memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.
Diungkapkannya, akibat perkara ini, dia mengalami dampak sosial bermasyarakat, diantaranya sebagai ASN dianggap cacat hukum, tidak mendapat tambahan penghasilan pegawai (TPP), tidak mendapat pengusulan kenaikan pangkat (penundaan), dan penundaan kenaikan gaji berkala. “Sejak ditetapkan sebagai tersangka, gaji tiap bulan dibayar hanya 50 persen,” bebernya.
Ditambahkannya, dalam keluarga, suaminya sebagai majelis jemaat, tidak menjalankan atau menerima kunjungan ibadah keluarga dan unsur sejak 10 Desember 2024 sampai sekarang.
“Dalam kasus ini, terdakwa sebagai seorang mama sudah 249 hari menelantarkan anak-anak, yang mana kedua anak terdakwa masih di bangku pendidikan SD kelas IV dan III. Apakah ini tidak melanggar hukum hak asasi manusia,” kata Naomi Kararbo dengan nada tanya.
Dirinya memohon dengan pembelaan ini bisa dipertimbangkan untuk dibebaskan, karena pengadilan merupakan tempat mencari keadilan, bukan ketidakadilan, apalagi penghukuman.
“Dengan alasan ini pula terdakwa mohon sudilah kiranya majelis hakim menolak tuntutan JPU dengan menyatakan tuntutan tidak benar dan bukan untuk keadilan, melainkan untuk penghukuman, sehingga dakwaan JPU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa dapat dibebaskan,” tandas Naomi Kararbo.
Tidak lupa, sebelum menutup pembelaannya, Naomi Kararbo mengatakan “barang siapa bekerja di tanah ini dengan jujur, adil, dan benar, ia akan melihat tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain,” tukasnya.
Sebelumnya, JPU Kejati Papua Barat, Mustar, SH, MH menyatakan, kelima terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan subsidair, Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHPidana.
Tiga terdakwa, Adi Kalalembang, Najamuddin Bennu yang kala itu menjabat Plt. Kepala Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, dan Daud, dituntut JPU masing-masing dengan pidana empat (4) tahun penjara, denda Rp. 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan terdakwa, Naomi Kararbo dan Beatrick S.A. Baransano, dituntut JPU masing-masing dengan pidana tiga (3) tahun dan enam (6) bulan atau 3,5 tahun penjara, denda Rp. 100 juta subsider 6 bulan kurungan. [TIM2-R1]