Manokwari, TP – Kondisi miris tergambar dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 15 Rendani Manokwari. SMP yang berada di dalam kota Manokwari, tepatnya di Jl. Trikora, Taman Ria, saat ini kondisinya terlihat serba terbatas dan sudah tidak dapat dikembangkan lagi, berbeda dengan SMP lain pada umumnya.
Dari lingkungan, SMPN 15 Rendani berada di dalam halaman Sekolah Dasar (SD) Inpres 42 Taman Ria, yang nota bene memiliki halaman lebih luas. Hanya pagar sebagai tanda pemisah antara lingkungan kedua sekolah bedan jenjang tersebut tersebut.
Menurut Kepala SMPN 15 Rendani, Willem Manggaprouw, luas tanah sekolah hanya sekitar 30 meter persegi x 30 meter persegi. Sebuah ukuran yang miris untuk satuan pendidikan tingkat SMP.
“Ukuran tanah SMP ini hanya seluas itu dan berada di dalam halaman SD Inpres 42 Taman Ria. Ini pagar dibuat untuk sebagai tanda ada SMP di sini dan menjaga aktivitas anak-anak,” ujarnya saat ditemui Tabura Pos di sekolah, Jumat (26/8).

Selain lingkungan sekolah, fasilitas gedung, SMPN 15 Rendani juga terlihat sangat terbatas hanya memiliki 6 ruangan dengan jenis bangunan bertingkat dua lantai.
Pihak SMPN 15 Rendani, ungkap Manggaprouw, telah mensiasati keterbatasan yang ada dengan menggunakan 5 ruangan sebagai kelas untuk rombongan belajar (rombel) dari kelas 7, 8 dan 9. Sementara, satu ruangan dijadikan sebagai ruang guru, termasuk ruang kepala sekolah di dalamnya hanya dengat sekat.
Dengan kondisi itu, Manggaprouw merasa sangat kesulitan mengatur proses belajar dari setiap rombel mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Apalagi, dengan jumlah siswa/i nya yang saat ini sebanyak 442 orang.
Pihak SMPN 15 Rendani, kata Manggaprouw, terpaksa memberlakukan dua sift jam belajar pagi dan siang. Menurutnya, mungkin SMP yang dipimpinnya merupakan satu-satunya SMP di Manokwari yang masih memberlakukan jam pagi dan siang. Selain itu, pihak sekolah juga sudah mengurangi rombel dari satuan tingkat kelas.
“Kita juga mengurangi, seperti kelas 9 ada A, B, C dan D, maka untuk rombel kelas 9 D kita tiadakan dan murid-muridnya kita lebur ke A, B dan C. Sehingga, satu rombel yang sesuai aturan sekitar 32 murid, namun karena digabung bisa sampai 42 siswa lebih, sama kelas 7 dan 8. Jadi, meja anak-anak tidak ada celah dengan meja guru,” jelas Manggaprouw.
Pihak SMPN 15 Rendani, menurut Manggaprouw, telah meminta perhatian dari pemerintah melalui dinas pendidikan. Menurutnya, satu-satunya cara untuk mengembangkan sekolah yang dipimpinnya saat ini adalah memindahkan ke lokasi yang baru.
“Mau bagaimana lagi, di sini sudah tidak bisa dikembangkan lagi, gedung saja sudah tingkat, keluar pintu ruangan sudah dapat halaman SD. Apalagi setiap tahun ajaran baru, sekolah ini jadi sekolah tampungan dari sekolah lain. Tahun ini saja, kita dapat tambahan 40 anak,” sebutnya.
Dari ketersediaan SDM, Manggaprouw menyebutkan SMPN 15 Rendani, memiliki 17 tenaga guru yang dibagi dalam dua sift pagi dan siang.
Manggaprouw menambahkan, pada 2015 SMPN 15 Rendani mendapatkan lokasi tanah dengan luas sekitar 1 hektar di Soribo. Pada 2018, pemerintah daerah mengalokasikan anggaran melalui APBD untuk pembangunan ruang kelas belajar (RKB), namun hanya tiga RKB dan 4 rumah guru.
“RKB nya sudah ada sejak 2018, tapi sampai sekarang tidak ada meubelernya. Dengan begitu, kami belum bisa pindahkan sebagian anak-anak rombel ke sana,” pungkasnya.
Menurutnya, tidak adanya meubelernya di ruang kelas belajar (RKB) di Soribo, sudah disampaikan ke pihak dinas pendidikan Manokwari. Namun, sampai dengan tiga kepala dinas pendidikan Manokwari, permasalahan meubeler belum juga terjawab.
“Kita punya sudah empat tahun lebih seperti tidak diperhatikan, sedang SMP yang di Marina dua tahun saja sejak 2020 langsung selesai,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Komite SMPN 15 Rendani, Yantye O. Imbiri mengungkapkan, permasalahan lingkungan sekolah yang kurang representatif itu, sudah disampaikan sejak masanya Bupati Manokwari, Almarhum Demas P. Mandacan dan ke dinas pendidikan sejak 2015.
Hasilnya, pada 2015 SMPN 15 Rendani, mendapatkan lokasi baru seluas kurang lebih 1 hektar di Soribo lengkap dengan sertipikatnya atas nama sekolah.
Namun lanjut, Yantye sejak RKB selesai dibangun 2018, sampai saat ini kurang lebih 4 tahun tidak ada perhatian bagi kelanjutan penggunaan 3 RKB itu, bahkan terkesan dibiarkan, karena sampai saat ini belum ada meubelernya.
Di samping itu, Yantye melihat koridor RKB tidak representatif dan dibangun tidak sesuai gambar master plannya, karena terlalu pendek. Jika diandaikan, tinggi koridornya sama dengan tingginya orang dewasa saat mengangkat tangan, karena jari-jari bisa langsung menyentuh plafon.
Selaku Ketua komite, Yantye merasa SMPN 15 Rendani, seperti dianak tirikan, pasalnya ada sekolah yang baru dibangun sejak 2020 sudah bisa difungsikan di 2022. Sementara, SMPN 15 yang nota bene tinggal melengkapi meubelernya sejak 2018 belum juga terealisasi sampai saat ini.
“Sejak 2015 kita jatuh bangun cari lokasi dan dapat di Soribo, karena masih masuk Rendani. Kita sangat mengharapkan perhatian, kalau bisa selesaikan dulu yang sudah ada, karena itu sudah sejak 2018, dan ini bicara mengenai pendidikan bukan hanya satu tahun saja, tetapi setiap tahun bertambah,” ungkapnya.
Pihak SMPN 15 Rendani, kata Yantye, bahkan telah mengeluarkan uang sendiri kurang lebih senilai Rp 20 juta lebih untuk memasukkan listrik ke 3 RKB dan 4 rumah guru di Soribo. Namun, lagi-lagi masalah meubeler menjadi kendala.
Menurutnya, memang sudah pernah ada kunjungan dari DPRD Manokwari dan pihak dinas pendidikan untuk melihat kondisi SMPN 15 Rendani, namun tidak ada kelanjutannya.
“Kalau hanya lihat-lihat saja semua juga bisa lihat, tapi tindakan lanjutannya apa. Kami berharap DPRD Manokwari khusus Komisi A memperhatikan kondisi yang ada dan turun ke lapangan lihat kondisi RKB di Soribo yang tidak representatif, cari kontraktornya siapa, karena begitu-begitu yang buat APBD dan pendidikan hancur,” pungkasnya.
Pantauan Tabura Pos, lokasi SMPN 15 Rendani di Soribo berdekatan dengan Gedung Gereja Bethel Jemaat Pemulihan Pondok Daud.
Lingkungan dipenuhi semak-semak dan sebagian bangunan sudah retak mungkin karena lama tidak digunakan dan tidak ada perawatan. Terdapat juga empat rumah guru.
Yang paling mencengangkan, tinggi koridor RKB itu hanya sekitar 2 meter. Dimana, jika orang dewasa mengangkat tangan langsung bisa menyentuh plafonnya. [SDR-R1]