Manokwari, TABURAPOS.CO – Ada 2 orang yang dianggap terlupakan dan seakan-akan terhapus dari arsip sejarah pembentukkan Kabupaten Manokwari yang berjuluk Kota Injil ini.
Menurut Willem Burwos, cucu dari Kaidai Burwos, mengatakan, kedua tokoh itu adalah tuan Van Oosterzee dan Kaidai Burwos, selaku pelaku sejarah pendirian Kota Manokwari, tidak pernah mendapat tempat yang layak.
Pasalnya, ungkap Burwos, kedua tokoh tersebut tak pernah disebutkan dalam lembaran sejarah Kota Manokwari, setiap kali memperingati HUT Kabupaten Manokwari.
“Kami keluarga Burwos merasa sedih, karena pelaku sejarah, terutama moyang kami, Kaidai Burwos Sangaji dilupakan dalam perayaan HUT Manokwari sampai ke-125 tahun. Padahal, beliau yang menyerahkan tanah ke tuan Van Oosterzee, sehingga tepat pada 8 November 1897, ditetapkan sebagai HUT Kota Manokwari,” katanya ketika bertandang ke Redaksi Tabura Pos, semalam.
Ia menegaskan, ibarat manusia, pasti dirinya mengetahui sejarah ketika dilahirkan, begitu pun dengan Kota Manokwari, tidak mungkin turun dari langit ke bumi, karena pasti ada sejarahnya.
“Kami tidak menuntut apa-apa, tetapi kami keluarga berharap sejarah Kota Manokwari bisa dipublikasikan dan diarsipkan agar nama besar dari moyang kami bisa dikenang generasi sekarang. Kalau memang pemerintah tidak ada arsipnya, kami bisa memberikan ke pemerintah,” ujar Burwos.
Ia mengisahkan, sesuai arsip seminar sehari penetapan Hari Jadi Kota Manokwari pada 28 November 1994 oleh Drs. Esau Sesa, mantan Bupati Manokwari, untuk menetapkan pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Irian Barat, maka dibentuklah pos pemerintahan pertama di Manokwari pada 8 November 1897.
Kala itu, ungkap Burwos, pemerintahan Hindia Belanda menetapkan wakil pemerintahannya yang pertama bernama tuan Van Oosterzee dengan jabatan Adspirant Controleur.
Setibanya di Manokwari, sambung Burwos, beliau mencari tahu daerah Pelabuhan Manokwari dan sekitarnya untuk dijadikan pos pemerintahan. Dari penjelasan semua warga yang mendiami daerah pelabuhan dan sekitarnya bahwa daerah ini milik marga Burwos atau Sangaji Burwos.
Diutarakannya, pemerintahan Hindia Belanda pun meminta daerah pelabuhan dan sekitarnya atau tempat saat itu Korem 171/PVT dan Hotel Arfak dijadikan pos pemerintahan Belanda yang pertama.
Akhirnya, permintaan tuan Van Oosterzee disetujui Kaidai Burwos dengan warganya dengan imbalan ganti rugi sebesar 40.000 Gulden.
Sekaitan dengan penyerahan tempat itu ke pemerintahan Belanda, maka marga lain seperti Rumbekwan, Rumbruren, Rumfabe, dan lainnya yang mendiami daerah pelabuhan, dipindahkan ke daerah Rodi, Rorsamberi di depan Asrama Polres Manokwari, dan Kwawi, sekarang.
Setelah kepindahan marga-marga ini, lanjut Burwos, maka daerah pelabuhan yang ditinggalkan, dikenang sebagai kampung lama. Sebab itu, diberikan nama Mnukwar, yang berarti Mnu berarti kampung dan Kwar berarti lama atau kampung lama, kemudian diubah menjadi Manokwari.
“Setelah kepindahan itu, barulah pemerintahan Belanda mulai membangun kota ini dengan mendirikan dua bangunan. Bangunan pertama di bangun di atas tanah yang sekarang dibangun Hotel Arfak untuk pengawai pemerintahan sipil,” rinci Burwos.
BACA JUGA: Korban Kecewa Peristiwa Wasior Berdarah ‘Terbengkalai’ 21 Tahun
Selanjutnya, tambah dia, bangunan kedua dibangun di atas tanah yang bekasnya sekarang adalah gedung Balai Prajurit Korem 171/PVT, dimana bangunan itu dibangun untuk angkatan bersenjata.
Ia mengungkapkan, tuan Van Oosterzee bekerja cukup lama di Manokwari, dimana dia mulai bertugas dengan jabatan Adspirant Controleur sampai menjabat Assisten Resident, barulah kembali ke negeri Belanda.
Disebutkan Burwos, Kota Manokwari selain sebagai kota pertama masuknya Injil di wilayah Irian Jaya, kemudian ada Kota Fakfak. Kedua pos pemerintahan Hindia Belanda tersebut dibawahi Karesidenan Maluku yang berkedudukan di Ambon.
“Itulah sejarah singkat Kota Manokwari. Kami keluarga Burwos tidak menuntut apa-apa, tapi kami berharap nama besar dari moyang kami bisa mendapatkan tempat yang layak di kota ini,” tandas Burwos. [FSM-R1]