Manokwari, TP – Resistensi antimikroba menjadi salah satu ancaman kesehatan, dimana salah satu penyebabnya akibat penyalahgunaan obat antibiotik.
Untuk mencegah resistensi antimikroba, maka dibutuhkan komitmen dan kepedulian bersama dalam mengendalikan kemunculan masalah tersebut.
Pengawasan Farmasi Obat dan Makanan BPOM Manokwari, Hadira Yeni menjelaskan, resistensi antimikroba adalah kondisi saat bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan, sehingga kebal terhadap obat-obatan yang diberikan.
“Jika dibiarkan, resiko penyebaran penyakit dan kematian menjadi semakin tinggi. Maka dari itu, kita harus mengenali obat dan mencegah penyalahgunaannya agar kita bisa menghentikan resistensi antimikroba,” kata Yeni pada KIE tentang Obat dan Makanan serta FGD dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik di Aston Niu Hotel Manokwari, Senin (13/2).
Di samping itu, ia membeberkan, sekarang banyak obat palsu beredar di masyarakat, sehingga masyarakat jika membeli obat, harus memastikan dibeli pada sarana resmi, seperti sarana pelayanan kefarmasian, apotek, klinik, puskesmas, dan rumah sakit.
“Di toko obat itu, terbatas yang bisa dijual. Khusus untuk toko obat, hanya obat dengan golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, karena terkait resistensi antimikroba,” jelas Yeni.
Menurut dia, persoalan resistensi antimikroba sangat penting untuk dipahami masyarakat, karena masalah ini ibarat air rembesan, apabila tidak ditangani, maka akan menenggelamkan dan dampaknya semakin tidak disadari.
Ia memaparkan, pada umumnya, obat digunakan untuk mencegah penyakit, bisa untuk menyembuhkan penyakit, dan tentu saja meningkatkan kesehatan. Namun, sambung dia, yang perlu diperhatikan ketika membeli obat, yakni kemasan, kadaluarsa, memperhatikan nomor registrasi, mengenal logo obat, dan sebagainya.
Dikatakan Yeni, tidak semua antimikroba bisa disebut antibiotik, dimana yang antibiotik dalam spesifikasinya untuk mengobati atau berfungsi sebagai antibakteri. Contohnya, rinci dia, Amocilin, Ampisilin, Tetrasilin, dan sebagainya.
“Kalau pernah kena cacar, itu disebabkan bakteri. Jadi, kalau kena cacar, kita tidak minum antibiotik, tapi kita pakai antivirus, Acyclovir, baik tablet minum maupun yang dioles dan sebagainya,” jelas Yeni.
Diutarakannya, obat antibiotik adalah obat untuk mengobati infeksi bakteri, bukan Coronavirus atau jamur, sehingga tidak bisa digunakan tanpa resep dokter.
Yeni menambahkan, antibiotik hanya digunakan agar bakteri tidak menjadi kebal atau resisten. “Resisten itu karena cara pengobatan tidak benar, pengobatan tidak tuntas, jadi bakteri sudah membaca, mengenali komponen kimia dari antibiotik yang dipakai untuk melawan atau membasmi bakteri tersebut,” papar Yeni.
Dirinya menerangkan, resistensi itu bisa diketahui pada saat meminum obat yang sama, sudah tidak mempan lagi atau merasa tidak sembuh. “Jangan sampai terjadi, terutama anak kita dari kecil salah minum antibiotik tidak tuntas, tidak tepat, maka pengobatannya menjadi resisten, kan kasihan,” ujar Yeni.
BACA JUGA : https://taburapos.co/2023/02/14/cpns-dan-p3k-unjuk-rasa-damai-di-kantor-gubernur/
Disebutkan Yeni, salah satu cara melawan resistensi antimikroba, maka masyarakat harus mengenali apa itu resistensi antimikroba, baik dalam bentuk bakteri, virus, dan jamur. Bahayanya, kata dia, resistensi antimikroba, maka pengobatan akan lama, bahkan tidak bisa sehat.
“Jadi, kalau ada yang menjual antimikroba tanpa resep dokter, tegur, kalau perlu dilaporkan. Namun masalahnya di Papua, masyarakat marah-marah kalau tidak dikasih obat. Padahal itu memang resikonya ke resistensi. Ini bahaya kalau tidak terkontrol penggunaan antimikrobanya,” pungkas Yeni. [AND-R1]