TABURAPOS.CO – KEHIDUPAN berasal dari Allah dan berakhir menuju Allah. Tidak ada alasan yang menggugat kemahakuasaan Allah tentang kehidupan. Sumber dan finalitas kehidupan bermuara pada Allah sendiri. Sangatlah ironis jika manusia dengan dalil tertentu mengakhiri kehidupannya sendiri ataupun kehidupan orang lain. Manusia tidak pernah menciptakan dan mengadakan kehidupan. Cuma Allah saja yang berhak atas kehidupan karena Dialah “Creatio ex Nihilo”(penciptaan dari ketiadaan). Ketiadaan menjadi ada hanya dalam kemahakuasaan Allah. Kuasa yang besar membuat “ketiadaan” menjelma dalam “ada” dan hanya “ada” saja manusia dapat berpikir dan bertindak. Manusia memulai kehidupan dari yang ada sedangkan Allah memulai kehidupan dari ketiadaan. Filosofi antara “ada dan tiada” mendorong manusia untuk selalu mencintai kehidupan yang telah dianugerahkan Sang Pencipta. Mencintai kehidupan adalah sebuah gerakan untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia secitra dengan Allah.
Terhadap gerakan mencintai kehidupan, nurani setiap pribadi diajak merefleksi sejarah peradaban manusia. Ada banyak praktek penindasan terhadap harkat dan martabat manusia. Mulai dari kasus pembunuhan sampai narkoba. Kasus-kasus tersebut mendepak kemanusiaan manusia. Terdepaknya kemanusiaan memunculkan praktek dehumanisasi. Konsekuensi logisnya terpaut pada pertanyaan: salah dan dosa siapa? Pertanyaan ini ibarat menegakkan benang basah. Semakin basah semakin rumit ditegakkan. Namun tabir dehumanisasi tersibak ketika hukum hadir dengan sanksi yang tegas. Sanksi melahirkan efek jera bagi pelaku dehumanisasi. Kehadiran hukum harus didasarkan pada keadilan tanpa memunculkan kontroversi di kalangan masyarakat. Jika tidak maka suara-suara minor akan selalu berdendang memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.
Pro dan Kontra Hukuman Mati
Salah satu hukuman yang selalu menimbulkan kontroversi adalah hukuman mati. Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Tujuan dari pemberian hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera serta hukuman yang setimpal terhadap pelaku tindak pidana kejahatan yang berat ataupun tindak kejahatan HAM berat yang dimungkinkan dapat berpengaruh terhadap individu lain sehingga berpikir lebih panjang dalam melakukan tindak pidana yang berat. Umur hukuman mati sudah setua peradaban manusia sendiri. Hukuman mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi di Babilonia. Hukuman mati ini dijatuhkan terhadap 25 kasus kejahatan. Pada abad 14-15 Sebelum Masehi, hukuman mati juga diberlakukan di Athena (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet). Hukuman mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji seperti penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas dan dibakar. Ada sebuah kasus hukuman mati yang penuh kontroversi yakni hukuman mati untuk Socrates sekitar tahun 400 Sebelum Masehi. Dia dianggap menyesatkan kaum muda karena mengajari mereka berfilsafat (berasal dari “filosofein”: mencintai kebenaran). Dengan berfilsafat, seseorang akan terhindar dari kedangkalan berpikir. Namun sayangnya, Socrates justru dituduh memurtadkan kaum muda oleh pengadilan para sofis dan dijatuhi hukuman mati. Terhadap hukuman mati ini, Socrates mendapat hasutan untuk melarikan diri tetapi dia berkeras kepala dan memilih untuk meminum racun. Aneh bin ajaib karena sesudah meregang nyawa, pemikiran Socrates terus hidup sampai detik ini.
Secara teoritis, kontroversi pro dan kontra hukuman mati dimulai sejak dipublikasikannya buku “Dei Dellitti E Delle Pene”. Buku ini berpengaruh sangat signifikan pada masa perang dunia I dan II yang mendorong bangkitnya aliran humanisme. Didalamnya terdapat pengakuan eksistensi kemartabatan manusia yang termanifestasi dengan penghargaan Hak Asasi Manusia (HAM) terutama hak atas hidup (rights to life) dan hak-hak sosial lainnya. Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survei yang dilakukan PBB pada tahun 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, hukuman mati selalu menuai pro dan kontra. Reaksi pro dan kontra berlangsung sampai hari ini. Kedua kelompok baik pro maupun kontra melihat hukuman mati dari sudut pandang yang berbeda. Ada dua aliran tentang hukuman mati yakni retensionis (pro) dan abolisionis (kontra). Menurut aliran retensionis (pro), hukuman mati bersifat transcendental dibangun dari conceptual abstraction yang melihat hukuman mati hanya dari segi teori absolut dengan aspek pembalasan dan pembinasaan. Dalam pandangan penganut aliran ini, hukuman mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan. Hukuman yang sangat berat berupa hukuman mati harus dilakukan untuk menjaga tertib hukum. Aliran retensionis mengamini ucapan Kant: ”Andaikata besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhir pun tetap dipidana mati pada hari ini”. Oleh karena itu, hukuman yang berlaku adalah pembinasaan (The vindictive theory of punishment) bukan teori relative yang bertujuan untuk memberi efek jera. Sementara itu, aliran abolisionis (kontra) melihat hukuman mati dari segi conceptual concritization yakni hukuman mati harus disesuaikan dengan perubahan zaman dan kondisi sosial kehidupan masyarakat. Kejahatan yang terjadi harus selalu berhubungan dengan faktor perkembangan psikologis, sosiologis, ekonomi, politik dan nilai-nilai budaya yang tetap hidup dalam masyarakat.
Alternatif Hukuman Mati
Dalam kebijaksanaan berpikir yang mengedepankan hukum dan kemanusiaan, ada harapan untuk penegakkan hukum yang lebih proporsional. Hal ini teraktualisasi dalam tiga unsur utama penegakkan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Demi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, hukum dan kemanusiaan harus berjalan beriringan tanpa meninggalkan luka bagi manusia. Wacana pro dan kontra teraktualisasi dalam penerapan dan penghapusan hukuman mati. Di satu sisi, pro dan kontra dapat menambah khazanah pengetahuan hukum dan di sisi lain, pro dan kontra dapat menciptakan fenomena agar hukum bukan saja mengutamakan asas penghukuman semata-mata tetapi juga tidak terpisahkan dari konteks sosial dimana hukum itu bertumbuh dan berkembang.
Di tengah derasnya reaksi pro dan kontra hukuman mati maka diperlukan alternatif untuk hukuman mati. Alternatif ini dilihat sebagai upaya untuk meredam reaksi pro dan kontra hukuman mati. Menurut Denny Indrayana, “Hukuman mati adalah konstitusional dan tidak bisa dinafikan. Namun ini berkaitan dengan HAM maka harus hati-hati dan selektif. Sebaiknya hukuman mati diatur sebagai hukuman alternatif yang khusus dan bersyarat”. Dia mewacanakan hukuman mati menjadi sebuah alternatif hukuman untuk para terpidana. Jika terpidana itu berkelakuan baik selama 10 tahun maka hukumannya menjadi seumur hidup saja. Artinya hukuman mati bersyarat kalau 10 tahun ada perubahan sikap bertobat maka diubah menjadi seumur hidup. Senada dengan alternatif untuk hukuman mati, Amir Syamsudin menegaskan bahwa hukuman mati menjadi ancaman alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Hukuman mati dapat dijatuhkan secara bersyarat terhadap terpidana misalnya dengan memberikan masa percobaan terhadap terpidana. Selama masa percobaan terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri. Jika selama masa percobaan, terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Sebaliknya jika terpidana tak berubah maka hukuman mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Walaupun ada tendensi untuk mengalternatifkan hukuman mati tetapi hukum harus tetap ditegakkan. Penegakkannya tetap berpayung pada keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Menurut Thomas Aquinas: “Tata tertib moral menuntut bahwa hukuman harus diberikan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Hukuman dapat memperbahurui diri si penjahat dan dapat mencegah si penjahat untuk melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari. Hukuman itu juga dapat menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa”. Dalam peradaban modern dewasa ini, Pro dan Kontra terhadap hukuman mati hendaknya tetap berpegang teguh pada hukum dan kemanusiaan. [**-R3]
Yosef Werang
Sosialisator Literasi Nasional 2022