Rencana Eksekusi Lahan di Bandara Rendani
Manokwari, TABURAPOS.CO – Bupati Manokwari, Hermus Indou mengundang jajaran forkopimda, termasuk pihak Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU) Rendani, Manokwari untuk membahas rencana pembangunan Bandara Rendani, Manokwari di Sasana Karya Kantor Bupati Manokwari, Kamis (16/2).
Dalam pertemuan itu, Pemkab meminta pendapat hukum (legal opinion) dari Pengadilan Negeri (PN) Manokwari dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Manokwari, karena Pemkab ingin segera mengeksekusi bangunan di atas lahan yang masih dikuasai masyarakat.
Bupati mengatakan, Pemkab membutuhkan pendapat hukum agar dalam pelaksanaan kebijakan yang nanti diambil bisa berjalan baik dan tidak menimbulkan pelanggaran hukum.
Dijelaskannya, pengembangan Bandara Rendani melalui 3 tahap pembangunan, yakni perpanjangan run way, pembangunan terminal dengan 5 garbarata, dan alitrase jalan.
Menurut dia, kelanjutan pembangunan alitrase jalan dan terminal, maka lahan sebagai objek pembangunan harus dikosongkan, tetapi masih dikuasai masyarakat, tetapi berstatus milik Pemkab.
Di samping itu, ungkap Indou, Pemkab juga mengalami keterbatasan anggaran, sedangkan waktu yang diberikan untuk memulai pembangunan terus berjalan.
“Pengosongan lahan sesuai kebutuhan pembangunan alitrase jalan dan terminal, sehingga prioritas kita untuk pengosongan lahan di depan terminal dulu,” jelas Bupati.
Kepala UPBU Rendani, Herman Handoyo menjelaskan, pembangunan Bandara Rendani sebagaimana masterplan dari Pemkab Manokwari dengan 5 garbarata, membutuhkan luas lahan sekitar 135 hektar, dan lahan yang berstatus sertifikat seluas 129,8 hektar.
Handoyo mengakui, kendala yang dihadapi adalah lokasi objek pembangunan ke arah laut masih ada bangunan yang dikuasai masyarakat.
“Kita sudah mendata masyarakat. Bagian ke laut, jumlah semua ada sekitar 300 lebih dan di sisi darat sendiri ada sekitar 200-an lebih. Kita tidak bisa mendata secara detail, mengingat terkait operasional, sehingga kita minta ke pemda,” jelas Handoyo.
Menanggapi hal ini, Ketua PN Manokwari, Berlinda U. Mayor menekankan, pengadilan tidak bisa menolak masyarakat yang ingin mengajukan gugatan, termasuk jika nanti ada gugatan yang diajukan akibat eksekusi atau pengosongan lahan Bandara Rendani yang dilakukan pemerintah.
Berlinda Mayor menerangkan, ada 3 jenis hukum yang dianut negara, yaitu: hukum positif, hukum adat, dan hukum Islam.
Secara hukum positif dan adat, saran Berlinda Mayor, tim yang sudah dibentuk pemda, memastikan kembali kelengkapan administrasi kepemilikan maupun pelepasan tanah kepada masyarakat setempat.
Sebab, ia menegaskan, bisa saja masyarakat yang saat ini masih mendiami lokasi dimaksud, meyakini itu miliknya, karena berkaitan dua jenis dasar hukum pelepasan tanah, yakni pelepasan adat dan sertifikat dari pertanahan yang bisa saja salah satunya belum diserahkan.
Di samping itu, tegas Berlinda Mayor, di KUHAP mengatur bahwa orang yang menguasai dan merawat tanah selama 20 tahun lebih, dianggap sebagai pemilik.
“Kalau mau pakai jalan pintas, istilahnya pemerintah punya power, tapi jangan juga semena-mena kepada masyarakat dan menimbulkan tangisan nantinya. Untuk itu, tim dari pemerintah mengecek name by name, satu per satu dan didata betul, detail, termasuk ahli waris pemilik tanah dimaksud supaya tepat sasaran kalaupun ada bayar ganti rugi,” papar Berlinda Mayor.
Dari sisi keterbatasan anggaran dan desakan waktu pembangunan, ia menyarankan Pemkab untuk memberikan penjelasan bahwa ganti rugi akan dibayarkan pada tahun berikut dan membawa perjanjian itu ke notaris.
Sedangkan Kajari Manokwari, Teguh Suhendro berpendapat, secara hukum pengosongan tanah yang sudah bersertifikat dan dimiliki pemerintah, bisa dilakukan pengosongan.
Dikatakannya, pengosongan juga bisa dilakukan selama Pemkab sudah mengkonsinyasikan uang pembayaran ke PN Manokwari.
Dirinya juga sependapat bahwa dalam Kitab Undang-undang Perdata mengatur tentang penduduk yang sudah mendiami dan merawat tanah di atas 20 tahun, dianggap sebagai pemilik.
Handoyo mengingatkan tentang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2018, dimana pemerintah menyediakan biaya sewa, biaya pengepakan, biaya mobilisasi, dan biaya kehilangan mata pencarian.
“Aspek hukum yang terpenting harus dibedakan antara penduduk 20 tahun lebih dan yang kurang dari 20 tahun, dimana 20 sampai 30 tahun diusulkan untuk ganti rugi, sama halnya pemilik yang bersertifikat,” jelas Kajari.
Bentuk Tim Dampak Sosial
Sementara Pemprov Papua Barat akan membentuk tim dampak sosial (TDS) pengosongan lahan di Bandara Rendani.
Ketua Tim Percepatan Pembangunan Strategis Papua Barat, Raymond Yap mengatakan, pembentukan ini sebagai upaya dukungan Pemprov terhadap Pemkab Manokwari mempercepat kelanjutan pembangunan terminal Bandara Rendani dan alitrase jalan.
“Kesepakatan sudah tercapai antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Kita hanya tinggal rapatkan barisan saja. Berkaitan dengan tim dampak sosial, kita sudah bentuk, tinggal regulasi yang kita butuhkan,” kata Yap kepada para wartawan di Kantor Bupati Manokwari, Kamis (16/2).
Dikatakannya, penanganan dampak sosial akan melibatkan berbagai pihak, sehingga membutuhkan regulasi sebagai dasar, sehingga tim melakukan suatu tindakan, tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan.
Lanjut Yap, terlebih di lokasi yang akan dikosongkan, terdapat pensiunan pegawai, masyarakat sipil, dan tidak ada ganti rugi kepada mereka.
“Kami akan rapat koordinasi, sehingga Senin depan tim sudah bisa berada di lapangan untuk mendata masyarakat yang ada di lokasi,” tandas Yap. [SDR-R1]