
Manokwari, TP – Sebanyak 10 orang penggugat melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Tergugat 1, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat, Tergugat 2, Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Papua Barat, serta Tergugat 3, Lukas Koyani.
Gugatan para penggugat, yaitu: Sukatmi, Sarjono, Ponidi, Alifatoni, Sukirno, Bodi, Purwanto, Supriadi, Marsi, dan Supriyono melalui kuasa hukumnya, Erwin Rengga, SH, terdaftar dengan nomor perkara: 34/Pdt.G/2022/PN Mnk tertanggal 6 Juni 2022.
Namun sayang, persidangan panggilan pertama, Senin (27/6), tidak dihadiri para tergugat. Akhirnya, majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan untuk melakukan pemanggilan kedua.
Kuasa hukum para penggugat, Erwin Rengga, SH menegaskan, para penggugat adalah pemilik tanah seluas 100.000 meter persegi yang terletak di SP VI, Desa Bowi Subur, Distrik Masni, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Namun di atas tanah tersebut sekarang sudah berdiri UPTD Balai Benih Induk Padi Palawija dan Holtikultura (BBI PPH) Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Papua Barat.
“Gugatan kami itu terkait penguasaan lahan oleh Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura milik masyarakat transmigrasi di SP VI,” kata Rengga yang dikonfirmasi Tabura Pos usai persidangan, kemarin.
Diakuinya, tanah yang dimiliki para penggugat seluas 10 hektar (100.000 meter persegi).
Dicecar tentang proses pengambilalihan lahan oleh Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura, ia menerangkan, sesungguhnya lahan itu milik para penggugat. “Sebenarnya semua ada 15 orang, tetapi yang masih ada orangnya itu 10 orang,” rincinya.
Menurut Rengga, lahan itu digugat karena lahan para penggugat sudah dibangun Balai Benih oleh Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura tanpa sepengetahuan para penggugat.
Apakah lahan itu dibeli Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura dari pemilik hak ulayat, sehingga bisa diambilalih untuk pembangunan Balai Benih, Rengga tidak membantahnya.
“Ini (perkara ini) sudah beberapa kali sidang sebelumnya dan masyarakat adat juga sudah pernah menggugat. Kami juga pernah menggugat, tetapi bukan saya saat itu kuasanya. Dalam persidangan ya seperti itu. Jadi, Dinas ini beli tanah dari pemilik ulayat, sedangkan di pihak lain, kami ini pemegang sertifikat tanah tersebut, tanah trans,” papar Rengga.
Disinggung apakah tanah transmigrasi yang dimiliki para penggugat tidak mempunyai pelepasan tanah adat, ia mengatakan, zaman itu, pihaknya tidak mengetahui persoalan pelepasan tanah adat.
“Kan seluruh Indonesia, transmigrasi itu program nasional, sehingga hal-hal itu menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Yang mengadakan lahan kan pemerintah daerah,” jelasnya.
Ia menambahkan, apabila seluruh tanah yang sudah diserahkan ke para transmigrasi diperjualbelikan dengan alasan pelepasan tanah adat, bagaimana nasib para transmigrasi di seluruh Indonesia.
“Ada ribuan trans di seluruh Indonesia. Kalau ini terjadi, akan terjadi kekacauan besar, karena semua pemilik tanah mengambil alih tanah trans,” tukas Rengga.
Dicecar terkait tuntutan para penggugat, apakah melakukan ganti rugi atau mengembalikan tanah itu ke para penggugat, Rengga menjelaskan, pihaknya melayangkan gugatan ganti rugi.
“Karena lahannya itu sudah terpakai selama 15 tahun sejak 2007. Jadi, yang kami tuntut itu Rp. 29 miliar untuk sepuluh penggugat,” ungkap dia.
Dirinya mengakui, dalam persidangan gugatan pertama, pihak Pemprov, Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura tidak menghadiri persidangan, termasuk pemilik tanah yang mengaku sedang berada di Bali mendampingi perkara di sana. “Minggu depan panggilan kedua,” tutup Rengga. [HEN-R1]