Manokwari, TABURAPOS.CO – Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Manokwari mengakui, kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur semakin mengkhawatirkan.
Kepala UPTD PPA Kabupaten Manokwari, Regina A. Rumayomi mengatakan, sepanjang 2022, UPTD PPA sudah menerima laporan kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur, lebih dari 10 kasus.
Ironisnya, ungkap dia, dalam beberapa kasus, pelaku justru orang terdekat, yakni keluarga, bahkan ayah kandung dari korban.
Diutarakannya, berdasarkan data kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umum di UPTD PPA, pengaduan lebih banyak terjadi di Distrik Prafi. Namun, lanjut dia, kasus kejahatan seksual terhadap anak di dalam lingkungan keluarga, besar kemungkinan terus terjadi, bahkan sebagian besar tidak terungkap ke permukaan.
Dia mengecam kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur. Sebab, tegas dia, kasus ini bukan hanya kejahatan kemanusiaan, tetapi juga merusak masa depan anak dan generasi bangsa.
Untuk itu, ia berharap penegakkan hukum terhadap pelaku harus dilakukan secara luar biasa. Diakuinya, terkadang kasus seperti ini dilaporkan ke kepolisian tanpa melibatkan UPTD PPA.
“Misalnya, ketika ada pengaduan kasus seperti ini, maka UPTD PPA harus memberi pemahaman kepada klien terhadap hak-haknya, alur dan proses yang diinginkan seperti apa. Jika melalui proses hukum, dijelaskan alurnya seperti apa. Jika kasus langsung dilaporkan ke polisi, maka polisi menerima langsung aduan tersebut, tetapi setelah memberikan laporan, kerap kali klien tidak memiliki kesiapan ketika anak atau korban berhadapan dengan hukum,” terang Regina Rumayomi.
Selain masalah kesiapan, sambung dia, kendala lain yang dialami akibat kurang dukungan keluarga, dimana terkadang orangtuanya sendiri tidak ingin menjadi saksi dan itulah yang sering terjadi.
“Padahal, dalam kasus seperti ini, anak atau korban juga memiliki hak yang mereka harus dapatkan,” tukasnya.
Ia mengungkapkan, ada sekitar 32 item hak anak, sehingga pihaknya berharap jika ada kasus seperti ini bisa dikoordinasikan dengan UPTD PPA supaya diberikan saran, pendapat, dan sebagainya ke klien untuk disiapkan ketika berhadapan dengan hukum.
Regina Rumayomi menegaskan, seharusnya keluarga merupakan tempat paling aman terhadap anak, tetapi kenyataan di dalam keluarga, anak justru menjadi korban kejahatan seksual orang terdekat.
Ia memperkirakan, kasus seperti ini kemungkinan terjadi karena terkesan ada pembiaran dari keluarga dan kurangnya pendampingan terhadap anak ketika beranjak dewasa.
BACA JUGA: Disnakertrans akan Bangun Kawasan Transmigrasi Nelayan di Manokwari Utara
“Kasus ini sangat memungkinkan terjadi karena umumnya di Manokwari, dalam satu rumah ada beberapa kepala keluarga di dalamnya. Kemudian, beberapa faktor lain, bisa karena masalah dari orangtua sendiri, sehingga anak dijadikan korban. Padahal, orangtua mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi anak dan keluarganya, tetapi bisa juga karena pengaruh minuman keras dan sebagainya,” papar Regina Rumayomi.
Menurut dia, kasus seperti ini terindikasi banyak terjadi di Manokwari, tetapi kurang advokasi, pendampingan dan pemberian pemahaman.
Di samping itu, jangkauan klien mengakses untuk berani melapor pun sangat kurang, karena tenaga kurang, tidak ada dukungan anggaran dan operasional, serta SDM dan sebagainya, sehingga tidak terungkap ke permukaan.
“Sebenarnya, kasus banyak hanya saja kita kekurangan SDM dan butuh advokasi agar mereka para korban mau membuka diri menyampaikan masalahnya,” tandas Regina Rumayomi. [AND-R1]