MANOKWARI, TABURAPOS.CO– SA alias Celsi, tampaknya belum siap untuk menyampaikan pembelaan dalam sidang perkara dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau tindak pidana perlindungan anak (TPPA), Senin (26/9) lalu.
Di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manokwari yang diketuai, Cahyono R. Adrianto, SH, MH, Celsi meminta sidang dengan agenda pembelaan terdakwa, ditunda lagi. “Belum siap,” kata SA ketika mendapatkan giliran untuk menyampaikan pembelaan.
Selain belum siap menyampaikan pembelaan lisan, ia juga mengaku tidak bisa lagi menghubungi penasehat hukumnya terkait isi pembelaan.
“Dihubungi melalui telpon, tetapi tidak direspon,” tambah SA dalam sidang yang dihadiri jaksa penuntut umum (JPU), Antonia Sarwom, SH.
Mendengar permohonan SA yang memohon sidang ditunda, termasuk pengajuan izin berobat, langsung ditanggapi ketua majelis hakim, dengan menolak permohonan tersebut. “Tidak bisa, ini sudah yang terakhir,” tegas Cahyono Adrianto.
Akhirnya, SA dan NH alias Bunda Rere, hanya bisa menyampaikan pembelaaan secara lisan. Keduanya mengaku menyesal dan memohon keringanan hukuman.
Sebelumnya, terdakwa HS alias Mama Ana sudah menyampaikan pembelaan melalui penasehat hukumnya, Metuzalak Awom, SH. Untuk itu, Mama Ana langsung mengatakan cukup ketika ditanya apakah ada pembelaan pribadi. “Cukup yang mulia,” tutur Mama Ana.
Menanggapi pembelaan dari ketiga terdakwa, JPU menyatakan tetap pada tuntutannya, sehingga majelis hakim menutup sidang dan akan dilanjutkan dengan pembacaan putusan, Selasa, 10 Oktober 2022.

Usai sidang, penasehat hukum Mama Ana, Metuzalak Awom, SH mengatakan, sebenarnya ini adalah perbuatan yang melanggar kemanusiaan dan dirinya juga tidak setuju dengan perbuatan itu.
Diungkapkan Awom, sebenarnya ada suatu peristiwa di Jakarta pada 20-23 Agustus 2021, yang harus diproses dan disidik.
Ia menerangkan, pada 24 Agustus 2022, SA mendatangi kliennya untuk menyampaikan sudah ada tenaga kerja. Sebelum itu, sambung Awom, proses pemalsuan identitas dan dokumen lainnya sudah diselesaikan.
“Diberitahukan ada tenaga kerja. Ibu (Mama Ana) bilang oke, kalau begitu, silakan diurus, datangkan saja, karena saya perlu tenaga,” jelas Awom yang dikonfirmasi Tabura Pos terkait pembelaan Mama Ana di PN Manokwari, pekan lalu.
Ditambahkannya, ketika mereka membutuhkan dana memberangkatkan para tenaga kerja, maka Mama Ana merasa yakin dan mempersilakan mereka mengurus kedatangan para tenaga kerja, lalu mengirim uang melalui Celsi, bukan ke Bunda Rere.
“Pelakunya kan Bunda Rere. Tidak tahu mekanisme mereka mendatangkan tenaga kerja, maka dikirimlah uang. Datanglah korban anak ke Manokwari, dijemput di Rendani dan dibawa ke mess di Maruni,” terang Awom.
Namun, ia mengakui, kliennya sempat ragu setelah melihat perawakan dan tanggal lahir kedua korban anak berinisial GAA (15 tahun) dan DNW (15 tahun).
Menurutnya, kedua korban anak sempat tinggal selama 2 hari di mess dan belum dipekerjakan. Kecurigaan kliennya ternyata betul, dimana ketika anggota Polda Papua Barat datang menjemput kedua korban anak di Lokalisasi 55, Maruni.
“Kalau dalam unsur-unsur delik yang didakwakan, Pasal 84 itu kan, salah satunya adalah mendekap atau menculik. Di sana (mess), mereka diberi kamar, sama seperti yang lain,” tambah Awom.
Ia juga mengakui, kedua korban anak juga diberikan uang jajan, uang makan dan minum, setelah diamankan anggota Polda Papua Barat.
“Jadi, yang kami lihat di sini, perbuatan yang sesungguhnya itu di Jakarta atau rumah kos di Jakarta. Serangkaian kejadian di Jakarta itu, tidak ada hubungan dengan klien kami,” tegas Awom.
Ditekankan Awom, kliennya tidak ada hubungan dengan kedua korban anak maupun pemalsuan identitas kedua korban anak. Bukan itu saja, kata dia, kliennya juga tidak mengetahui apabila kedua korban anak ini masih di bawah umur atau tidak.
“Sama sekali tidak tahu. Nanti setelah di dalam ruang sidang ini baru Bunda Rere maupun Celsi mengakui bahwa Mama Ana tidak tahu, termasuk anak korban. Mereka tahu itu setelah di Bandara Rendani,” katanya.
Diutarakannya, apabila disebut ada persekongkolan atau kata sepakat di antara para terdakwa, memang benar unsurnya terpenuhi jika pengiriman uang dilakukan sebelum pengurusan dokumen yang belakangan diketahui palsu.
“Intinya, klien kami tidak mengetahui kedua korban anak masih di bawah umur atau tidak, termasuk tidak mengetahui perihal pemalsuan dokumen kedua korban anak,” tegas Awom.
Seperti diketahui, kasus dugaan perdagangan orang atau perlindungan anak terungkap setelah orangtua korban membuat laporan polisi di Polres Pati, Jawa Tengah.
Setelah menerima informasi bahwa kedua korban dikirim ke Manokwari, Papua Barat, akhirnya anggota Polda Papua Barat mendatangi Lokalisasi 55, Maruni dan menemukan kedua korban.
Meski salah satu majelis hakim, Ahmad menyebut para terdakwa terancam 13 tahun pidana penjara untuk kasus TPPO dan 20 tahun untuk kasus TPPA, tetapi kenyataannya, kedua terdakwa, Mama Ana dan Celsi tidak ditahan di rumah tahanan (rutan).
Kedua terdakwa ini diberikan ‘keringanan’ oleh majelis hakim dari tahanan rumah tahanan menjadi tahanan rumah dengan alasan sakit.
Sedangkan Bunda Rere yang berasal dari Tangerang, Banten, tidak mengajukan pengalihan penahanan, tetapi memilih menjalani hukuman dan ditahan di Lapas Perempuan, Manokwari.
Di persidangan beragenda pembacaan tuntutan, JPU menuntut terdakwa NH alias Bunda Rere dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp. 120 juta subsider 1 bulan penjara.
BACA JUGA: Empat Korban Pembantaian KKB Dipulangkan ke Sulsel dan Sulut
Terdakwa juga diharuskan membayar biaya restitusi sebesar Rp. 17.265.000. Menurut JPU, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat 1 junto Pasal 17 Pasal 48 Ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHAP.
Sementara untuk terdakwa Mama Ana dan Celsi, JPU menuntut keduanya dengan pidana penjara selama 3 tahun, dikurangi masa tahanan, dan denda Rp. 120 juta subsider 1 bulan penjara. Kedua terdakwa juga diwajibkan membayar biaya restitusi masing-masing sebesar Rp. 17.265.000.
Menurut JPU, kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan perekrutan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan pemalsuan untuk tujuan mengekploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia’. [HEN-R1]


















