Warinussy: Wartawan juga bisa memboikot kegiatan-kegiatan TNI, kenapa tidak
Manokwari, TABURAPOS.CO – Panitera Pengadilan Militer III-19 Jayapura yang sempat menyita kartu pers Pemimpin Redaksi Tabura Pos, Henry V. Sitinjak dan meminta paksa identitas berupa KTP-nya, di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Senin (17/10) sore, dianggap suatu kesalahan besar.
Salah satu advokat senior di tanah Papua Yan C. Warinussy, SH menegaskan, Panitera Pengadilan Militer III-19 Jayapura tidak berhak menyita, termasuk meminta secara paksa identitas berupa KTP.
“Dia tidak punya hak melakukan hal itu. Itu tidak boleh. Itu salah besar, tidak boleh. Hak apa yang diberikan kepada dia melakukan itu,” katanya dengan nada tanya kepada Tabura Pos via ponselnya, Selasa (18/10/2022).
Selaku mantan jurnalis dan advokat, Warinussy menyayangkan tindakan oknum anggota TNI yang bertindak sewenang-wenang dan menghalangi-halangi tugas profesional para wartawan ketika hendak meliput.
Kala itu, dua wartawan sedang meliput sidang kasus penembakan oleh Sertu Aloysius F.F. Johanda yang berstatus pengawal pribadi (walpri) Pangdam XVIII Kasuari terhadap korban, almarhum Rafael I. Balaweling (adik ipar terdakwa) di Kampung Aimasi, Distrik Prafi, Manokwari, 4 Juni 2022, di PN Manokwari, Senin (17/10/2022).
Di sela-sela peliputan sidang yang dinyatakan ‘terbuka dan dibuka untuk umum’, Panitera mengintimidasi dua wartawan, dari Tabura Pos dan TribunPapuaBarat, Safwan Ashari di samping ruang sidang PN Manokwari.
Bahkan, Panitera memerintahkan stafnya mengambil paksa handphone untuk memastikan penghapusan rekaman video maupun foto-foto proses persidangan.
Setelah stafnya mengambil ponsel, lalu staf tersebut menghapus satu per satu rekaman video maupun gambar-gambar yang diambil dari luar ruangan sidang.
Setelah memastikan semua rekaman video dan foto, bahkan beberapa foto-foto dokumentasi yang tidak terkait persidangan militer ikut terhapus.
Merasa tidak puas, Panitera meminta Tabura Pos menunjukkan kartu pers dan langsung membawa kartu pers tersebut ke dalam ruang sidang.
Tidak puas dengan penyitaan kartu pers, Panitera itu kembali keluar ruang sidang dan meminta Tabura Pos menunjukkan KTP, meski sempat ditolak lantaran Panitera sudah menyita kartu pers.
Dia tetap ngotot dengan alasan perintah pimpinan, maka KTP diserahkan, lalu difoto sang Panitera. Setelah mengambil foto KTP, lalu dikembalikan, sedangkan kartu pers tetap disita dan dibawa ke dalam ruang sidang.
“Tindakan tersebut jelas melanggar amanat Pasal 18 Ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ancaman hukumannya dua tahun penjara,” tegas Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari ini.
Untuk itu, tegas Warinussy, tidak ada alasan apapun bagi Pangdam untuk tidak segera menindak tegas oknum pelaku tersebut.
Ia menjelaskan, langkah hukum sudah semestinya diambil demi menciptakan efek jera terhadap oknum-oknum anggota TNI agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap insan pers di tanah Papua secara umum dan khususnya di Papua Barat.
Diungkapkannya, hal pertama yang harus dilihat dari sifat persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim militer, Kolonel Chk Rudy Dwi Prakamto dengan hakim anggota, Letkol Chk Fitriansyah dan Mayor Chk Dandi A. Sitompul serta Panitera, Kapten Sus Budi Santosa tersebut.
Lanjut dia, apabila hakim menyampaikan sidang terbuka untuk umum, jangan diartikan terbuka hanya untuk militer, dalam hal ini anggota Kodam dan tertutup untuk masyarakat sipil, termasuk para wartawan.
Selanjutnya, sambung dia, tindakan mengambil paksa atau merampas handphone serta menghapus rekaman video maupun foto-foto milik kedua jurnalis tersebut, merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan.
“Itu salah. Seharusnya, majelis hakim menyampaikan mohon kalau yang mau ambil gambar, bisa izin dulu ke majelis, itu boleh. Etikanya itu begitu. Persidangan itu bukan hanya soal hukumnya semata, tetapi ada etikanya,” tegas Warinussy.
Dicontohkan Warinussy, keluar-masuk ruang sidang, bukan hanya di persidangan militer saja, tetapi juga persidangan di seluruh dunia, siapa pun yang masuk dan keluar ruang persidangan, harus bersikap sopan atau merunduk kepada majelis, baik saat keluar atau masuk.
“Kalau mengambil lalu merampas, kemudian menghapus, itu bisa disebut sabotase, satu. Kedua, itu menghalang-halangi tugas wartawan. Ketiga itu, perbuatan yang tidak etis, begitu. Jadi, menurut saya, tindakan itu harus ditindaklanjuti. Yang bersangkutan harus ditindak secara hukum, termasuk secara kode etik. Tidak boleh dibiarkan,” ujar Warinussy.
BACA JUGA: Kecewa, Keluarga Korban Minta Sertu AFFJ di PTDH dan Mendapat Hukuman Berat
Ia memaparkan, Panitera Pengadilan Militer mempunyai tugas mencatat seluruh proses persidangan, tidak bisa meminta KTP atau menegur orang dan tindakan lain, seperti yang dialami kedua jurnalis saat meliput persidangan militer.
“Yang punya kewenangan itu majelis, Panitera tidak bisa. Panitera itu sama dengan juru tulis atau sekretaris persidangan. Dia mencatat semua yang terjadi di dalam persidangan. Ada orang ribut di persidangan atau orang melakukan tindakan tidak senonoh di ruang persidangan, dia catat, termasuk tadi, kalau ada wartawan yang foto, dia catat dan beritahukan atau konfirmasi ke majelis, bapak ini bagaimana supaya nanti bisa diarahkan,” terang Warinussy.
Ditambahkannya, nantinya majelis hakim yang mengambil tindakan, bukan Panitera yang datang mengambil tindakan atau orang lain yang berada di situ, apalagi memakai seragam. “Itu tidak boleh dan tidak bisa mengambil tindakan seperti preman, tidak boleh,” tegasnya.
Ditanya apakah tindakan yang dilakukan oknum anggota TNI ini bisa diartikan bahwa militer masih tabu untuk dikritisi? Warinussy mengatakan, itu sudah jelas.
“Saya kira perilaku-perilaku seperti yang kita sudah bicarakan panjang lebar tadi, paling tidak itu menjelaskan bahwa militer masih bersikap tertutup, tidak mau dikritisi, dan lain sebagainya. Mereka tidak pro demokrasi-lah,” katanya.
Jika ada pelarangan peliputan, terang Warinussy, seharusnya disampaikan di awal persidangan, majelis hakim memberitahukan kepada semua pihak, bukan di akhir persidangan.
“Biasanya di akhir persidangan, nanti majelis hakim menyampaikan lagi mohon maaf, tadi ada begini, begini. Kalau ada sesuatu, nanti kita koordinasi, begitu,” terang Warinussy.
Disinggung tentang keengganan para wartawan mengikuti sidang-sidang di pengadilan militer yang bersifat terbuka untuk umum, akibat sering terjadi intimidasi?
Menurut Warinussy, itu menandakan bahwa wartawan sudah mengambil sikap tidak mau meliput atau memboikot.
“Bukan hanya persidangan, tetapi kegiatan-kegiatan TNI. Itu dikembalikan ke wartawan untuk memboikot. Wartawan juga bisa memboikot kegiatan-kegiatan TNI, kenapa tidak. Kalau wartawan tidak mau menyampaikan mereka punya kegiatan-kegiatan, itu boleh dan sah-sah saja,” tandas Warinussy.
BACA JUGA: Sidang Pembunuhan Oknum TNI Diwarnai Perampasan Hp 2 Wartawan, Penghapusan Rekaman Video dan Foto
Dia menjelaskan, tugas seorang wartawan itu merupakan sikap dari demokrasi, memberikan peluang terjadi keterbukaan dalam segala hal, tetapi diakui, harus ada hal-hal yang ditutupi.
“Itu sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan buat semena-mena, semau gue begitu, tidak bisa. Harus ada regulasi, harus ada aturannya,” kata Warinussy.
Warinussy tidak membantah bahwa kasus yang dijalani Sertu Aloysius sangat sensitif untuk diberitakan dan semua orang sudah mengetahui perihal tersebut, karena publik sudah mengetahui siapa pelakunya.
“Dia punya hubungan dengan siapa di institusi militer, dia punya kaitan dengan siapa. Kalau ada tindakan begini, orang bisa berandai-andai, wah ini mungkin ada indikasi, karena dia ini ajudannya atau pengawalnya, sehingga perlu dilindungi dan secara tidak langsung melindungi orang di atasnya. Itu tidak boleh terjadi. Sekali lagi, itu tidak boleh terjadi di ruang-ruang publik,” pungkas Warinussy. [TIM-R1]