Manokwari, TABURAPOS.CO – Akademisi Unipa, Mulyadi Jaya menilai indeks kemerdekaan pers (IKP) di Papua Barat lima tahun terakhir, sejak 2019 terus mengalami penurunan.
Pada 2023 ini, Dewan Pers merilis IKP Papua Barat berada di urutan 33 dari 35 provinsi atau peringkat ketiga terbawah se-Indonesia.
“Lima kali diadakan survei dari 2019 hanya tahun 2019 yang peringatnya ke-28, sisanya berada di peringkat 33, 34 gantian dengan Papua. Tahun ini peringkat ke-33. Jadi, sama parameter dan hasilnya dengan Papua,” ujar Mulyadi pada sosialisasi hasil survei IKP Papua Barat, di Aston Manokwari, Jumat (17/11) lalu.
Menurut kacamatanya, IKP di Provinsi Kalimantan justru lebih baik dari Papua, padahal dari sisi sumber daya alam (SDA) kedua provinsi ini sama-sama memiliki SDA yang melimpah.
“Artinya sumber daya alam itu akan mendorong stabilitas, kemakmuran masyarakatnya. Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua apakah IKP ini Papua Barat akan demikian terus? Diurutan tiga paling bawah. Ini menjadi pertanyaan sekaligus tantangan besar bagi kita di Papua Barat,” tuturnya.
Menurutnya, jika dibandingkan tahun 90-an, para wartawan di tahun itu benar-benar cukup kritis sehingga mampu menciptakan IKP yang baik.
“Saya pernah jadi wartawan 1993-1998 di Tifa Irian, Cenderawasih Pos, di kala itu wartawan di Manokwari hanya tiga orang. Ketika itu, wartawannya cukup kritis dan IKP-nya sudah menjaga independensi sebagai pers,” ujarnya.
Mulyadi Jaya merasa, pers saat ini tidak cukup kritis untuk menjawab permasalahan-permasalahan di Papua yang notabene menjadi pertanyaan masyarakat.
“Pada saat ini saya bisa curiga, bisa duga, peran pers untuk menjawab masalah-masalah di Papua belum banyak berperan. Misalnya, kenapa angka stunting, kemiskinan di Papua tinggi, kemudian apakah pers tahu APBD Papua Barat yang sampai 4-5 triliun itu dimanfaatkan untuk apa. Mana bukti kesejahteraan untuk masyarakat. Itulah yang saya kira hambatan-hambatan itu belum terjawab, sehingga IKP tidak bergerak naik. Artinya, peran pers di Papua Barat belum berjalan berintegrasi dengan pemerintah,” terangnya.
Selain itu, menurut Mulyadi Jaya, pers saat ini juga belum mampu ataupun tidak mampu menjawab, membuka permasalahan maupun pembangunan di Papua Barat yang menjadi keinginan masyarakat. Dengan kata lain, pers belum mampu menyajikan jawaban atas apa yang menjadi pertanyaan masyarakat.
“Contoh yang kasat mata, belum pernah ada jawaban untuk masyarakat kenapa minyak di pompa bensin masyarakat harus mengantre berjam-jam, berhari-hari. Masalahnya dimana, coba diungkap, terbuka saja. Masyarakat jadi terbuka juga kalau pers ingin mengungkap sesuatu. Tapi, Masyarakat juga tidak mau terbuka kalau pers ingin mengungkap sesuatu karena memang kondisi kemerdekaan pers kita ini belum pantas,” terangnya.
Mulyadi Jaya merasa pesimis karena nilai bagi pers di Papua Barat terburuk akan terus menerus seperti ini bahkan, bisa menjadi ancaman bagi kebebasan pers. Apalagi media sosial semakin berkembang bebas di masyarakat.
Secara akademis, Mulyadi Jaya menyarankan untuk meningkatkan IKP di Papua Barat, pers harus lebih banyak mengadakan pelatihan meningkatkan pengetahuan, skill, moral, etika yang membuat independensi pers terjaga dan tidak berpihak.
Begitu juga masalah kesejahteraan pers harus menjadi perhatian.
Dirinya menyampaikan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki IKP di Papua Barat, diantaranya penegakan UU Pers, pelatihan, diskusi, dialog, keterbukaan informasi dari pemerintah, independensi pers, mendorong penerapan standar etika jurnalistik yang maksimal sesuai undang-undang yang berlaku.
“UU Pers ditegakkan agar tidak ada lagi wartawan yang mengalami kekerasan fisik maupun verbal. Saya tidak tahu apakah OTT KPK terhadap Pj Bupati itu temuan wartawan ataukah masyarakat. Ini yang menjadi tantangan di kemerdekaan pers,” pungkasnya. [SDR-R3]
 
	    	 
		    

















