Hari Anak Nasional ke 40
Manokwari, TP – Hari Anak Nasional (HAN) ke-40, tahun 2024 menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyusun program perencanaan yang lebih baik kedepan, terutama perencanaan demi masa depan anak cucu.
Hal ini disampaikan oleh AktifisPerempuan dan Anak di Manokwari, Yuliana Numberi, bahwa sampai saat ini kasus kekerasan terhadap anak masih terus terjadi baik di tingkat nasional maupun di daerah.
Oleh karenanya, Hari Anak Nasional tahun 2024 yang mengusung tema, “Anak Terlindungi Indonesia Maju”, menjadi moment baik untuk merefleksikan bagaimana menyiapkan anak-anak kita memiliki masa depan yang cemerlang.
Menurutnya, dari tema yang diusung, pemerintah secara tidak langsung ingin mendorong agar tahun 2045 atau 2050, anak-anak sebagai penerus bangsa benar-benar menjadi generasi yang siap membangun, memajukan bangsa dan negara.
Untuk mewujudkan itu tentunya tidak mudah, butuh upaya dan tindakan perlindungan terhadap anak.
Namun kenyataannya, sampai hari ini masih banyak anak yang mengalami kekerasan baik secara nasional maupun di daerah.
Khusus untuk di Papua Barat, Yuliana melihat kasus anak masih cukup tinggi, baik itu anak yang terlibat masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dan sebagainya.
“Hal itu membuktikan bahwa belum keseriusan dari pemerintah padahal di daerah ada Dinas Teknis maupun UPTD PPA tapi kenapa masalah ini masih ada,” ucap Yuliana kepada Tabura Pos di Polresta Manokwari, Selasa (23/07).
Menurut Yuliana, ada beberapa faktor penyebab masih tingginya kasus anak di Papua Barat khususnya di Manokwari diantaranya, karena tidak komitmen yang serius dari pemerintah daerah untuk melaksanakan perlindungan terhadap anak dalam menciptakan Indonesia maju.
Kemudian, program yang ada didaerah terutama di dinas teknis belum ada yang benar-benar bisa menjawab persoalan terutama untuk perlindungan perempuan dan anak, termasuk masalah anggaran yang sangat kecil pada dinas teknis.
“Jadi kalau bicara tema tahun 2024, itu menunjukkan bahwa Negara bermimpi di tahun 2045 anak-anak Indonesia bebas dari masalah di berbagai sektor, tapi bagaimana mimpi ini terwujud sedangkan anak bukan tinggal di Jakarta kita tinggal didaerah,” jelasnya.
“Kita punya UU perlindungan anak No. 23 tahun 2022 yang di ubah ke dalam UU No. 35 tahun 2014 kemudian kita punya UU TPKS UU No.12 tahun 2022 tapi kenapa masih tinggi, ada yang terungkap tapi ada juga yang belum terungkap,” tambahnya.
Selain beberapa faktor yang telah disebutkannya, sebut Yuliana, ada faktor lain yang menyebabkan tingginya kasus anak, yakni rendahnya pemahaman masyarakat yang disebabkan oleh edukasi dan sosialisasi baik melalui dari pemda maupun organisasi perempuan yang ada.
“Hari ini saya melihat organisasi perempuan yang ada juga tidak fokus melindungi anak. Padahal anak itu ada di dalam keluarga maka peran keluarga peran pemerintah masyarakat itu wajib untuk memberikan perlindungan,” terangnya.
Menurut Yuliana, sepanjang tahun 2024 secara pribadi dirinya telah mendampingi sekitar 15 kasus. Jumlah tersebut belum termasuk laporan yang diterima dari daerah lain seperti, Kaimana dan Sorong yang meminta perlindungan namun mereka tidak mempunyai pemahaman akibat kurangnya sosialisasi.
“Dinas teknis wajib melakukan sosialisasi. Komitmen pemerintah itu harus ada dan program perencanaan harus di tata dengan baik,” tandasnya. [AND-R3]