Sorong, TP – Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF-RI) mengadakan sosialisasi gerakan nasional budaya sensor mandiri di Provinsi Papua Barat Daya, bertempat di salah satu hotel di Kota Sorong, Selasa (15/10/2024).
Ketua Komisi II LSF-RI, Ervan Ismail mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk mengajak masyarakat memilih tontonan yang tepat berdasarkan kategori usia.
“Dulu pola kerja kami dengan memotong (cut off) adegan yang dianggap kurang layak dikonsumsi publik. Namun sekarang, pola kerja kami berubah. Tidak lagi memangkas, melainkan mengklasifikasi film berdasarkan kategori usia,” jelas Ismail kepada para wartawan di Kota Sorong, kemarin.
Ia merincikan, ada beberapa klasifikasi tontonan sesuai kategori usia, diantaranya kategori semua umur (SU), kategori 13+, kategori 17+, dan kategori 21+. Film dengan kategori SU tidak mengandung kekerasan, adegan tidak sopan atau perilaku yang membahayakan anak-anak serta tidak mengandung adegan yang bisa mengganggu perkembangan jiwa anak.
Dijelaskan, untuk film dengan kategori 13+ adalah film yang diperuntukkan terhadap penonton berusia 13 tahun atau lebih. Adapun klasifikasi 17+ yakni film yang mengandung konten dewasa dan hanya diperbolehkan ditonton oleh penonton berusia 17 tahun ke atas.
Selanjutnya, film dengan kategori 21+ yakni film yang diperuntukkan khusus bagi penonton berusia 21 tahun ke atas. Film dengan kategori ini biasanya memiliki tema, adegan visual, dialog, dan judul yang ditujukan untuk orang dewasa.
Berdasarkan ketentuan LSR-RI, film dengan kategori ini hanya boleh ditayangkan di televisi setelah pukul 23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat.
Menurut Ismail, pola kerja LSF dalam proses sensor film saat ini dianggap lebih tepat daripada harus menggunting adegan pada sebuah film. Sebab, hal itu dapat menjaga kualitas keaslian film yang diproduksi tanpa mengubah isinya.
“Oleh sebab itu, dengan cara kerja yang baru ini, LSF menggiatkan sosialisasi budaya sensor mandiri harus dilakukan setiap masyarakat, terutama orang tua. Dengan budaya sensor mandiri sesuai usia ini, diharapkan setiap anak Indonesia dapat menikmati tontonan yang tepat sesuai usianya,” jelasnya.
Ismail menambahkan, film yang merupakan industri kreatif ini ibarat dua sisi mata pisau, bisa membawa dampak positif, tetapi juga bisa membawa dampak negatif. Oleh sebab itu, kata dia, budaya sensor mandiri ini sangat penting untuk melindungi nilai-nilai moral dan budaya bangsa dari pengaruh negatif media.
Diakuinya, dengan rampingnya struktur anggota LSF-RI yang hanya 17 orang, pihaknya cukup kesulitan membendung konten-konten negatif yang membanjiri berbagai platform media sosial. Akibatnya, cukup banyak series atau film pendek di sosial media yang tayang tanpa Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) yang akhirnya bebas dikonsumsi publik.
“Hasilnya luar biasa sekali. Berdasarkan survei LSF pada 2022 terhadap pelajar di Jabodetabek, kami menemukan fakta bahwa ada sekitar 54 persen penonton usia anak mengaku tidak memperhatikan tontonanya sesuai klasifikasi usia. Ini bahaya sekali, manakala ada adegan sensitif yang kemudian ditonton anak, lalu membawa pengaruh terhadap perkembangan jiwanya,” jelas Ismail.
Untuk itu, Ismail berharap para orang tua dapat mengambil peran lebih dalam mengontrol konten-konten yang sebaiknya disajikan kepada anak, paling tidak dengan membudayakan sensor mandiri melalui memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia anak. [CR24-R1]