Manokwari, TP – Dewan Pengupahan Provinsi Papua Barat telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Provinsi Papua Barat 2025 sebesar Rp. 3,614 juta atau mengalami kenaikan Rp. 220.000 dibandingkan pada 2024.
Asisten II Setda Provinsi Papua Barat, Melkias Werinussa mengatakan, penetapan UMP Papua Barat 2025 dikunci dengan formula yang tidak bisa diganggu.
Sebab, ia menjelaskan, UMP ditentukan dengan rumusan UMP 2024 dikali upah minimum 6,5 persen secara nasional ditambah nilai UMP 2025, sehingga ada kenaikan sekitar Rp. 220.000.
Werinussa mengatakan, pleno penetapan UMP ini berlangsung alot, karena Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Papua Barat tidak bersedia menandatangani berita acara, karena tidak sepakat dengan penetapan UMP Papua Barat 2025 dan Upah Minimum Sektoral (UMS) 2025.
“Ada dua hal yang kita putuskan malam ini, UMP dan UMS Provinsi. Untuk UMP kita sudah dapat di angka Rp. 3,614 juta yang akan dibulatkan ke atas,” jelas Werinussa kepada para wartawan usai pleno penetapan UMP di salah satu hotel di Manokwari, semalam.
Diakuinya, penetapan UMP sudah disepakati Dewan Pengupahan dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), sedangkan perwakilan Apindo menolak hasil penetapan UMP Papua Barat 2025.

“Penetapan UMP sudah sesuai rumusan dan tidak dapat dihindari, karena kita tidak bisa menghitung dari angka inflasi. Itulah keputusan yang sudah dibuat pemerintah,” kata Werinussa.
Sedangkan untuk UMS, sambung Werinussa, pihaknya mengalami kesulitan, karena diminta untuk menghitung, apalagi sejak 2022, Dewan Pengupahan Provinsi Papua Barat tidak lagi menetapkan UMS, sehingga ketika Permenaker No. 16 Tahun 2024 diterbitkan dan Dewan Pengupahan diminta menghitung UMS, pihaknya kesulitan untuk menghitung dari sisi mana.
Ditanya tentang kenaikan UMS Papua Barat 2025, baik sektor industri pengolahan, sector pertambangan dan penggalian, ia menjelaskan, untuk sektor industri pengolahan sebesar Rp. 3,848 juta atau mengalami kenaikan Rp. 234.000 dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan untuk sektor pertambangan dan penggalian, ungkap dia, UMS sebesar Rp. 5,325 juta atau mengalami kenaikan Rp. 325.000 dibandingkan tahun sebelumnya. Lanjut dia, kenaikan cukup tinggi, karena resikonya lebih tinggi.
“Ini untuk sementara, karena memang kita belum ada formula yang baku, bisa saja naik lebih tinggi, karena sumbangan ekonomi dari migas tinggi,” katanya.
Ditanya tentang penolakan hasil penetapan UMP oleh Apindo, ia mengatakan, pihaknya tetap berjalan, sedangkan keberatan yang disampaikan Apindo akan dimasukkan dalam berita acara.
“Nah, keputusan UMP Papua Barat berada di Gubernur. Kami memberi pertimbangan-pertimbangan dan Gubernur-lah yang akan memutuskan,” tandas Werinussa.
Perwakilan SBSI Provinsi Papua Barat, Romer Arwan mengatakan, pihaknya mengikuti aturan pemerintah yang sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan terkait penetapan UMP.
Sementara untuk UMS, kata dia, SBSI meminta agar Dewan Pengupahan bisa melakukan kajian ulang.
“Untuk UMP bagi kami aman-aman saja, karena dari tahun 2023 ke 2024 mengalami kenaikan sebesar Rp. 100.000 dan tahun 2024 ke 2025 mengalami kenaikan Rp. 200.000 dan sudah memenuhi standard,” kata Arwam kepada para wartawan.
Sementara itu, Ketua Apindo Papua Barat, Piter Woniana menegaskan, pihaknya keberatan terhadap penetapan UMP Provinsi Papua Barat berdasarkan Permenaker No. 16 Tahun 2024, karena upah minimum 6,5 persen rata-rata secara nasional.
“Kami dengan tegas menolak penetapan UMP Papua Barat 2025 sebesar Rp. 3,614 juta, karena memberatkan para pengusaha,” kata Woniana kepada para wartawan usai penetapan UMP 2025, semalam.
Dikatakannya, untuk UMS Provinsi Papua Barat, pihaknya menerimanya dan mempersilakan SBSI dan Dewan Pengupahan menaikkan nilai UMS Provinsi Papua Barat 2025.
“Kami sementara menyusun beberapa poin-poin yang akan kami buat untuk dikirim ke Gubernur Papua Barat sebagai bahan pertimbangan sebelum menetapkan UMP Provinsi Papua Barat 2025,” tandas Woniana. [FSM-R1]