Ransiki, TP – Peringatan HUT ke-9 Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel) baru saja berlalu dengan penuh kemeriahan mulai dari atraksi Paramotor sampai pada penampilan artis ternama dari Indonesia bagian Timur.
Namun, satu hal yang masih menjadi pertanyaan adalah pada Peringatan HUT ke-9 Kabupaten Mansel yang diwarnai dengan busana Batik Arfak bermotif ciri khas Mansel-Pegaf ini, tidak dilakukan pembacaan sejarah pemekaran Kabupaten Mansel.
Bupati Mansel, Markus Waran, pada sambutannya di puncak peringatan HUT ke-9 Kabupaten Mansel, Selasa (16/11), membuka alasan mengapa sejarah tentang Pemekaran Kabupaten Mansel tidak dibacakan.
Menurut dia, sebenarnya Pemerintah Kabupaten Manokwari Selatan (Pemkab Mansel) sudah menulis buku tentang sejarah pemekaran Kabupaten Mansel, tetapi karena adanya jejak pendapat soal sejarah pemekaran maka buku itu belum bisa dicetak dan diterbitkan.
“Semua pendapat yang dituangkan mau jadi yang nomor satu, si A bilang seperti ini, yang lain juga begitu, sebenarnya kita menghadirkan pemekaran ini untuk menonjolkan diri, marga, kelompok tertentu atau siapa, yang jelas kita hargai tokoh-tokoh perjuangan pemekaran,” ucap Waran.
Orang nomor satu di jajaran Pemkab Mansel yang juga Ketua DAD Wilayah Adat Manokwari Selatan ini meminta, para tokoh-tokoh adat untuk duduk bicara dengan Pemkab Mansel guna menuangkan semua pendapat tentang sejarah pemekaran Kabupaten Mansel supaya bisa dituangkan menjadi satu dalam buku, bukan sebaliknya ingin menonjolkan pendapatnya dari yang lain.
Ia menambahkan, satu hal yang harus di ingat bawah setiap orang yang ditunjuk untuk memimpin bukan atas kehendaknya sendiri tetapi karena di angkat oleh masyarakat. Sambung Waran, jika tak ada masyarakat maka tidak akan ada tokoh adat juga tokoh pemekaran, begitu juga dengan seorang Bupati, jika tidak ada dukungan dari masyarakat maka dia pun tidak bisa menjadi Bupati.
Oleh sebab itu, dengan adanya masyarakat dan Pemerintah maka hadirlah Kabupaten Mansel, untuk itu buku sejarah tentang pemekaran harus dibuat dan tidak boleh ada lagi jejak pendapat dari pihak manapun supaya buku sejarah tentang pemekaran Kabupaten Mansel ini bisa segera selesai dan bisa dicetak.
Diungkapkannya, sejarah tentang pemekaran Kabupaten Mansel harus ditulis dalam satu buku supaya bisa dibaca oleh anak-cucu kedepan sehingga mereka pun tau tentang sejarah pemekaran Kabupaten Mansel.
Sedikit, Waran mengisahkan, Kabupaten Mansel sebenarnya tidak dimekarkan karena usulan sebelumnya masyarakat Mansel menjadi satu dengan Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf), tetapi karena perjuangan keras Tokoh Adat, para mantan anggota DPRD dan Dewan Adat Distrik Ransiki pada saat ini yang berani untuk berbicara lantang dan tegas untuk meminta pemekaran, sehingga keinginan itu akhirnya bisa terjawab.
“Secara Pemerintah kami boleh dibatasi, tetapi adat istiadat kami tetap satu sebagai Suku Besar Arfak, Suku Arfak yang punya Tanah ini tidak pernah mendiskriminasi suku-suku Nusantara lainnya tetapi kita sudah saling menerima untuk membangun tanah dan negeri yang kita cintai ini,” ujarnya.
Untuk itu, dirinya meminta, anak-cucu dari para tokoh pemekaran yang ada di 6 Distrik dan 57 kampung agar tidak lagi tawar-menawar tetapi mau duduk bersama-sama dengan Pemkab Mansel untuk membicarakan penulisan sejarah pemekaran Kabupaten Mansel. Sambung dia, anak-anak adat harus bisa tampil didepan tetapi tetap menunjukkan sopan santun dan menghargai perjuangan para orang tua untuk menghadirkan Kabupaten Mansel ini.
Diakhir sambutannya, Waran menyatakan, Panggung di depan Kantor Bupati adalah tempat dimana usulan pemekaran itu pertama kali digagas, maka tempat tersebut akan dijadikan sebagai Kantor Dewan Adat Daerah dan akan dibangun tugu didalamnya. [BOM]